Bestprofit Futures - Masa Depan Kebinekean Indonesia
Bestprofit Futures - Keanekaragaman budaya, suku, bahasa, agama yang
ada di Indonesia menjadi sebuah peluang sekaligus tantangan bagi bangsa untuk
mempertahankan konsep kesatuan yang ada di Indonesia. Keanekaragaman dapat
menjadi asset nasional untuk mempromosikan wisata budaya dan daerah dalam taraf
internasional, jika dilihat dari segi ekonomi, hal ini dapat dijadikan
komoditas yang akan mendongkrak kembali pariwisata nasional Indonesia.
Keanekaragaman budaya kita ibarat sebuah pelangi dalam titian langit di
angkasa, indah, berwarna, beraneka dan menciptakan harmoni bagi siapa saja yang
melihatnya, membuat orang ingin mengenal, merasakan, bahkan mengetahui
komposisi warna yang ada di dalamnya. Sprektum warna dari keanekaragaman budaya
di Indonesia, menjadikan Indonesia, sebagai sebuah negara yang sangat kaya,
bukan hanya dari posisi silangnya di zamrud katulistiwa, bukan juga karena
kekayaan alam yang berlimpah ruah dan tidak pernah habis, seperti halnya Lumpur
Lapindo yang tidak pernah berhenti menyemburkan lumpurnya, akan tetapi
kekayaan budaya yang terbentang dari sabang hingga merauke. Eksotisme budaya
Indonesia, bahkan terkenal di berbagai negara, akan tetapi, kita bangsanya
sendiri, kerap tidak menghargai atau bahkan melupakan itu semua ketika kita
memasuki era modernisasi dan kapitalisasi dalam wajah “westernisasi”
Bestprofit Futures - Keberagamaan budaya juga menjadi sebuah tantangan
bagi kita untuk mempertahankan, memelihara, mengembangkan bahkan menghargai
budaya di era kekinian kita. Banyak hal yang kita ubah dalam memandang era
globalisasi, termasuk konsep pembangunan, ekonomi, hukum, diplomasi, bahkan
paradigm hidup berbangsa dan bernegara dengan sebuah jargon “think globally
act locally”, akan tetapi, kita seolah-oleh mengabaikan hal paling
mendasar yang justru sering memulut api kebencian antar sesama, yaitu perbedaan
budaya, salah satunya bahasa. Actually, we want to pursue our great
happiness for certain numbers by certain conditions which are supporting those
means, but we forget to include a “basic wisdom of allĂ culture”.
Bhineka Tunggal Ika bukan sekedar jargon yang
dibuat untuk memediasi konflik antar warga, akan tetapi itu adalah sebuah value,
norms, act of conducts dalam membangun jati diri bangsa di tengah-tengah
ke globalan kita. Sulit dibayangkan, ketika budaya dan bahasa asing memasuki
wilayah 9’ LU-11’ LS ini tanpa ada fondasi yang kuat di dalamnya. Bagaimana
mungkin kita akan memiliki sebuah “frame” yang sama, secara holistic,
apabila sebenarnya, kita masih terkukung dalam kotak-kotak fragmentasi. Saya
sama sekali tidak mengatakan jika perbedaan disini, harus dihilangkan, apalagi
diabaikan, karena sekali lagi, perbedaan itu ibarat pelangi, namun yang perlu
digaris bawahi adalah pentingnya menekankan “siapa kita, bagaimana kita
memahami perbedaan di antara kita, dan bagaimana perbedaan itu menjadi sebuah
perisai yang akhirnya menyatukan kita”.
Kongres pemuda 28 Oktober 1928 menghadirkan
sebuah gagasan baru atas semangat persatuan, kesatuan dan merupakan sebuah
tonggak lahirnya nasionalisme di Indonesia dalam wujud intelektual yang
kooperatif. Sebuah janji yang menekankan untuk memiliki satu tanah air, satu
bangsa, dan satu bahasa dikumandangkan. Bukan hal yang mudah di tengah
kemajemukan bangsa kita yang hampir memiliki 214 suku bangsa, setidaknya
memiliki 214 bahasa daerah, untuk bersatu dalam sebuah naungan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Keanekaragaman suku yang mengakibatkan
keanekaragaman aturan, kebiasaan, tradisi, wilayah yang terdiri dari sabang
hingga merauke, entitas politik, agama, dan keanekaragaman bahasa daerah itu
bernaung dalam NKRI atas sebuah mediasi, yaitu bahasa, Bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia yang juga memiliki fungsi sebagai unsur identitas nasional dan
pelindung dan pemelihara warisan nasional/ national heritages.
Setidaknya ada empat unsur identitas nasional:
(1) suku bangsa; (2) agama; (3) kebudayaan; (4) bahasa. Keempat unsur identitas
nasional itu kemudian dapat dirumuskan pembagiannya menjadi tiga bagian: (1)
identitas fundamental, Pancasila sebagai falsafah bangsa, Dasar Negara, dan
Ideologi Negara; (2) Identitas Instrumental yang terdiri dari UUD 1945, Bahasa
Indonesia, Lambang Negara, Bendera Negara, Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya”;
(3) Identitas Alamiah yang meliputi negara kepulauan dan pluralisme dalam suku,
bahasa, budaya, serta agama dan kepercayaan.
Dengan mengisi roh dan nyawa Proklamasi Kemerdekaan,
diperuntukkan bagi tegak dan berdirinya NKRI maka harus ada pondasi, falsafah
hidup, perjanjian luhur bangsa, dasar negara, ideologi negara, kompas,
pandangan hidup, ideologi pegangan kehidupan bangsa, soko guru, dan panduan
nilai-nilai keindonesiaan dalam perilaku hidup sehari-hari, maka dalam
Pancasila inilah merangkumnya. Karena di dalam Pancasila memuat seperangkat
nilai intrinsik yang interaksinya satu sama lain menyusun, mewujudkan dan
melaksanakan cita-cita yang didamba bangsa Indonesia dengan menghargai
kebinekaan.
Secara intrinsik, Pancasila mengandung dan perekat nilai-nilai kebenaran universal, nilai-nilai moral universal, keadilan, toleransi yang dapat diterima dan disepakati bersama oleh seluruh anak-anak bangsa yang memiliki latar belakang kepercayaan dan keyakinan yang begitu majemuk dan beranekaragam, mengingat NKRI dari Sabang sampai Merauke memiliki 17.508 pulau, 33 provinsi, 722 bahasa, 1.128 suku bangsa, kelompok etnik, adat istiadat, dan beragam agama jelas menggambarkan Bhinneka Tunggal Ika. Tepatlah apa yang diutarakan TB Simatupang, dalam masyarakat majemuk atau “Bhinneka Tunggal Ika” seperti Indonesia, anak-anak bangsa dengan latar belakang kepercayaan, keyakinan dan kebudayaan yang beranekaragam dari hari ke hari harus bekerja sama atau bergotong royong untuk membangun masa depan bersama, yang mampu mewujudkan keadilan sosial dan terciptanya kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahkan, 10 November 2010 lalu di Jakarta, Presiden Amerika Serikat, Barack Obama pun melontarkan pujian terhadap filosofi “Bhinneka Tunggal Ika” yang dapat menjadi contoh bagi dunia pada abad ke-21 bagaimana kehidupan harmonis antarumat beragama dan antaretnis dibangun dan dipelihara.
Secara intrinsik, Pancasila mengandung dan perekat nilai-nilai kebenaran universal, nilai-nilai moral universal, keadilan, toleransi yang dapat diterima dan disepakati bersama oleh seluruh anak-anak bangsa yang memiliki latar belakang kepercayaan dan keyakinan yang begitu majemuk dan beranekaragam, mengingat NKRI dari Sabang sampai Merauke memiliki 17.508 pulau, 33 provinsi, 722 bahasa, 1.128 suku bangsa, kelompok etnik, adat istiadat, dan beragam agama jelas menggambarkan Bhinneka Tunggal Ika. Tepatlah apa yang diutarakan TB Simatupang, dalam masyarakat majemuk atau “Bhinneka Tunggal Ika” seperti Indonesia, anak-anak bangsa dengan latar belakang kepercayaan, keyakinan dan kebudayaan yang beranekaragam dari hari ke hari harus bekerja sama atau bergotong royong untuk membangun masa depan bersama, yang mampu mewujudkan keadilan sosial dan terciptanya kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahkan, 10 November 2010 lalu di Jakarta, Presiden Amerika Serikat, Barack Obama pun melontarkan pujian terhadap filosofi “Bhinneka Tunggal Ika” yang dapat menjadi contoh bagi dunia pada abad ke-21 bagaimana kehidupan harmonis antarumat beragama dan antaretnis dibangun dan dipelihara.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika diambil oleh Mpu
Tantular dari konsep teologi Hindu yang berbunyi Bhina Ika Tunggal Ika, Tan
Hana Dharma Mengrawa. Artinya, berbeda-beda Dia, tapi satu adanya, tak ada
ajaran yang menduakannya.
Mpu Tantular adalah penganut Budha, namun ia terbuka terhadap pemeluk agama lain, terutama Hindu Siwa. Artinya, bangsa Indonesia sudah sejak lama mempraktikkan hidup tole-ran terhadap pluralitas yang inheren. Ini adalah tradisi dan melekat serta menjiwai setiap anggota masyarakat. Ini pula yang menciptakan entitas keberagaman yang rukun dan sudah sangat mengakar pada bangsa Indonesia.
Mantapnya kebhinekaan Indonesia dan kuatnya perekat persatuan kebangsaan Indonesia ke depan hanya dapat diraih melalui bentuk-bentuk pendidikan multikultur yang pas lewat disain kebhinekaan yang mengintegrasikan proses pembelajaran nilai, pengetahuan, dan keterampilan hidup dalam masyarakat Indonesia yang multikultural.
Mpu Tantular adalah penganut Budha, namun ia terbuka terhadap pemeluk agama lain, terutama Hindu Siwa. Artinya, bangsa Indonesia sudah sejak lama mempraktikkan hidup tole-ran terhadap pluralitas yang inheren. Ini adalah tradisi dan melekat serta menjiwai setiap anggota masyarakat. Ini pula yang menciptakan entitas keberagaman yang rukun dan sudah sangat mengakar pada bangsa Indonesia.
Mantapnya kebhinekaan Indonesia dan kuatnya perekat persatuan kebangsaan Indonesia ke depan hanya dapat diraih melalui bentuk-bentuk pendidikan multikultur yang pas lewat disain kebhinekaan yang mengintegrasikan proses pembelajaran nilai, pengetahuan, dan keterampilan hidup dalam masyarakat Indonesia yang multikultural.
Memang, sistem pendidikan dengan nilai-nilai seperti
humanisme belum diterapkan di dunia pendidikan kita. Sistem pendidikan yang
dikembangkan di lembaga pendidikan kita belum memungkinkan terjadinya pemahaman
paradigma multikulturalisme yang proporsional akibat distorsi-distorsi.
Misalnya, distorsi agama kerap dijadikan pembenar bagi terjadinya konflik
antaragama.
Sebagai penerus sekaligus tulang punggung bangsa, generasi muda diharapkan mampu menanamkan semangat toleransi, pluralisme, dan penghargaan antar-kelompok agar tetap lestari dan menjadi dasar berkehidupan bangsa ini. Persepsi generasi muda tentang persoalan kebangsaan, pluralitas dan kepemimpinan nasional cukup penting dalam rangka mengeksplorasi opini dan sikap publik tentang kebhinekaan di Indonesia.
Generasi penerus dengan progresivitas pemikirannya tetap harus belajar dari seja-rah yang telah ditorehkan oleh generasi tua. Sejarah akan menjadi petunjuk yang baik, apa yang harus dilakukan atau tidak. Sejarah masa lalu menjadi cermin bagaimana sejarah akan datang diukir sekarang. Dari sejarah itulah, generasi sekarang bisa dan harus belajar. Tetapi, apabila lubang hitam sejarah itu tak pernah ditambal, orang tak mau belajar dari sejarah, maka kesalahan demi kesalahan akan selalu terukir.
Oleh sebab itu, para penyelenggara negara secepatnya menyelamatkan upaya pendangkalan kebangsaan dan pemasungan toleransi yang secara sistematik telah merasuki masyarakat pada umumnya. Negara harus mengambil langkah-langkah untuk menyelamatkan kebhinnekaan dan janji kebangsaan yang tertuang dalam Pancasila dan konstitusi RI.
Pada saat ini, kita sebenarnya masih dihadapkan pada situasi dan realitas yang tidak mengenakkan. Di banyak tempat masih terjadi ketegangan antar-keyakinan, antar-etnis dan antar-agama. Di beberapa daerah, tempat ibadah kelompok agama tertentu disegel, dirusak dan bahkan ada yang dibakar. Sangat disayangkan bahwa dalam masyara-kat yang sudah melewati banyak pengalaman dan pelajaran ini masih melakukan tindakan yang tidak toleran dan menghargai keragaman.
Yang lebih disayangkan adalah sikap keraguan dari lembaga negara. Kita tahu bahwa alasan dasar adanya negara adalah untuk melindungi hak dan kebebasan warga negaranya. Namun, dari beberapa kejadian kekerasan dalam merespon keragaman, kita tidak melihat negara menjadi pelindung hak-hak dasar warga negaranya.
Oleh sebab itu, di tengah merebaknya tindak kekerasan dan sikap anti-keragaman, kita perlu membangun sikap optimis karena toh masih banyak kelompok yang toleran dan anti-kekerasan. Salah satu hal penting yang perlu kita semai dan kita rawat adalah sikap dan keyakinan untuk saling menghargai, saling pengertian dan anti kekerasan.
Dengan pendekatan multidimensi, kita juga perlu melihat persoalan yang kita hadapi tidak hanya dari satu sisi. Ada banyak latar yang perlu kita pahami dalam melihat respon masyarakat terhadap keragaman, mulai dari sistem keyakinannya, kesenjangan sosial dan orientasi politiknya.
Saat ini, yang perlu dibangun dan dikembangkan adalah kelompok anak muda yang mau berkiprah dalam membangun toleransi keberagamaan dan mendorong semangat kebhinekaan. Pengalaman kehidupan sehari-hari para pelajar Indonesia serta gagasan-gagasan aktual mereka dalam melihat kebhinekaan Indonesia, misalnya, perlu dipupuk. Pelatihan-pelatihan keberagaman, saat ini perlu memfokuskan pada pelajar dan pemuda, bukan lagi orang-orang tua yang sering menjadikan forum-forum demikian sebagai seremonial. Semangat berbhineka harus segera dioper kepada yang muda.
Sebagai penerus sekaligus tulang punggung bangsa, generasi muda diharapkan mampu menanamkan semangat toleransi, pluralisme, dan penghargaan antar-kelompok agar tetap lestari dan menjadi dasar berkehidupan bangsa ini. Persepsi generasi muda tentang persoalan kebangsaan, pluralitas dan kepemimpinan nasional cukup penting dalam rangka mengeksplorasi opini dan sikap publik tentang kebhinekaan di Indonesia.
Generasi penerus dengan progresivitas pemikirannya tetap harus belajar dari seja-rah yang telah ditorehkan oleh generasi tua. Sejarah akan menjadi petunjuk yang baik, apa yang harus dilakukan atau tidak. Sejarah masa lalu menjadi cermin bagaimana sejarah akan datang diukir sekarang. Dari sejarah itulah, generasi sekarang bisa dan harus belajar. Tetapi, apabila lubang hitam sejarah itu tak pernah ditambal, orang tak mau belajar dari sejarah, maka kesalahan demi kesalahan akan selalu terukir.
Oleh sebab itu, para penyelenggara negara secepatnya menyelamatkan upaya pendangkalan kebangsaan dan pemasungan toleransi yang secara sistematik telah merasuki masyarakat pada umumnya. Negara harus mengambil langkah-langkah untuk menyelamatkan kebhinnekaan dan janji kebangsaan yang tertuang dalam Pancasila dan konstitusi RI.
Pada saat ini, kita sebenarnya masih dihadapkan pada situasi dan realitas yang tidak mengenakkan. Di banyak tempat masih terjadi ketegangan antar-keyakinan, antar-etnis dan antar-agama. Di beberapa daerah, tempat ibadah kelompok agama tertentu disegel, dirusak dan bahkan ada yang dibakar. Sangat disayangkan bahwa dalam masyara-kat yang sudah melewati banyak pengalaman dan pelajaran ini masih melakukan tindakan yang tidak toleran dan menghargai keragaman.
Yang lebih disayangkan adalah sikap keraguan dari lembaga negara. Kita tahu bahwa alasan dasar adanya negara adalah untuk melindungi hak dan kebebasan warga negaranya. Namun, dari beberapa kejadian kekerasan dalam merespon keragaman, kita tidak melihat negara menjadi pelindung hak-hak dasar warga negaranya.
Oleh sebab itu, di tengah merebaknya tindak kekerasan dan sikap anti-keragaman, kita perlu membangun sikap optimis karena toh masih banyak kelompok yang toleran dan anti-kekerasan. Salah satu hal penting yang perlu kita semai dan kita rawat adalah sikap dan keyakinan untuk saling menghargai, saling pengertian dan anti kekerasan.
Dengan pendekatan multidimensi, kita juga perlu melihat persoalan yang kita hadapi tidak hanya dari satu sisi. Ada banyak latar yang perlu kita pahami dalam melihat respon masyarakat terhadap keragaman, mulai dari sistem keyakinannya, kesenjangan sosial dan orientasi politiknya.
Saat ini, yang perlu dibangun dan dikembangkan adalah kelompok anak muda yang mau berkiprah dalam membangun toleransi keberagamaan dan mendorong semangat kebhinekaan. Pengalaman kehidupan sehari-hari para pelajar Indonesia serta gagasan-gagasan aktual mereka dalam melihat kebhinekaan Indonesia, misalnya, perlu dipupuk. Pelatihan-pelatihan keberagaman, saat ini perlu memfokuskan pada pelajar dan pemuda, bukan lagi orang-orang tua yang sering menjadikan forum-forum demikian sebagai seremonial. Semangat berbhineka harus segera dioper kepada yang muda.
Jika kita disodori bahan-bahan pelajaran yang
mengandung bias (kelas, jender, etnis, agama, suku), kita akan tumbuh menjadi
manusia dengan praduga dan prasangka negatif terhadap orang lain yang berbeda.
Dengan memperluas wacana kebhinekaan di kalangan anak muda, dalam jangka
panjang diharapkan dapat terbangun secara luas pengejawantahan kebhinekaan
Indonesia.
Empat pilar negara: Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika, telah kita yakini sebagai perekat kehidupan bangsa dan negara Indonesia yang multikultur. Keempat pilar yang gencar disosialisasikan MPR RI ini, di satu sisi memang fundamen, tapi sisi lain, cukup rentan kalau implementasi konkrit Pancasila dan kebhinekaan tidak dirumuskan.
Empat pilar negara: Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika, telah kita yakini sebagai perekat kehidupan bangsa dan negara Indonesia yang multikultur. Keempat pilar yang gencar disosialisasikan MPR RI ini, di satu sisi memang fundamen, tapi sisi lain, cukup rentan kalau implementasi konkrit Pancasila dan kebhinekaan tidak dirumuskan.
Posting Komentar