Bestprofit Futures - Perbedaan Antara Orde Baru dan Reformasi
A.Orde Baru/ Orba (Demokrasi Pancasila)
Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak
mengalami perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada
masa itu pemerintah sukses menghadirkan suatu stablilitas politik
sehingga mendukung terjadinya stabilitas ekonomi. Karena hal itulah maka
pemerintah jarang sekali melakukan perubahan-perubahan kebijakan
terutama dalam hal anggaran negara.
Pada masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya berorientasi
kepada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh
kestabilan politik yang dijalankan oleh pemerintah. Hal tersebut
dituangkan ke dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan Trilogi
Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang
stabil, dan pemerataan pembangunan.
Hal ini berhasil karena selama lebih dari 30 tahun, pemerintahan
mengalami stabilitas politik sehingga menunjang stabilitas ekonomi.
Kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa itu dituangkan pada Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang pada akhirnya
selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan
menjadi APBN.
APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan
asumsi-asumsi perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat
inflasi, harga ekspor minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai
ukuran fundamental ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya, fundamental
ekonomi nasional tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro. Akan
tetapi, lebih kearah yang bersifat mikro-ekonomi. Misalnya,
masalah-masalah dalam dunia usaha, tingkat resiko yang tinggi, hingga
penerapan dunia swasta dan BUMN yang baik dan bersih. Oleh karena itu
pemerintah selalu dihadapkan pada kritikan yang menyatakan bahwa
penetapan asumsi APBN tersebut tidaklah realistis sesuai keadaan yang
terjadi.
Format APBN pada masa Orde baru dibedakan dalam penerimaan dan
pengeluaran. Penerimaan terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan
pembangunan serta pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan. Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan
berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun
fiskal ini diterapkan seseuai dengan masa panen petani, sehingga
menimbulkan kesan bahwa kebijakan ekonomi nasional memperhatikan petani.
APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip
berimbang, yaitu anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran
pengeluaran sehingga terdapat jumlah yang sama antara penerimaan dan
pengeluaran. Hal perimbangan tersebut sebetulnya sangat tidak mungkin,
karena pada masa itu pinjaman luar negeri selalu mengalir.
Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk menutup anggaran yang defisit.
Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada
anggaran penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut
adalah utang yang harus dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di
masa yang akan datang. Oleh karena itu, pada dasarnya APBN pada masa
itu selalu mengalami defisit anggaran.
Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena anggaran defisit negara ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah pengeluaran pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga antara penerimaan dan pengeluaran dapat berimbang. Permasalahannya, pada masa itu penerimaan pajak saat minim sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran.
Namun prinsip berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah pada
masa itu untuk mempertahankan stabilitas, khususnya di bidang ekonomi.
Karena pemerintah dapat menghindari terjadinya inflasi, yang sumber
pokoknya karena terjadi anggaran yang defisit. Sehingga pembangunanpun
terus dapat berjalan.
Prinsip lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip fungsional. Prinsip ini merupakan pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan dimana pinjaman luar negeri hanya digunakan untuk membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena menurut pemerintah, pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak dapat seluruhnya dibiayai oleh sumber dana dalam negeri.
Pada dasarnya kebijakan ini sangat bagus, karena pinjaman yang
digunakan akan membuahkan hasil yang nyata. Akan tetapi, dalam APBN tiap
tahunnya cantuman angka pinjaman luar negeri selalu meningkat. Hal ini
bertentangan dengan keinginan pemerintah untuk selalu meningkatkan
penerimaan dalam negeri. Dalam Keterangan Pemerintah tentang RAPBN tahun
1977, Presiden menyatakan bahwa dana-dana pembiayaan yang bersumber
dari dalam negeri harus meningkat. Padahal, ketergantungan yang besar
terhadap pinjaman luar negeri akan menimbulkan akibat-akibat.
Diantaranya akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi.
Hal lain yang dapat terjadi adalah pemerataan ekonomi tidak akan
terwujud. Sehingga yang terjadi hanya perbedaan penghasilan. Selain itu
pinjaman luar negeri yang banyak akan menimbulkan resiko kebocoran,
korupsi, dan penyalahgunaan. Dan lebih parahnya lagi ketergantungan
tersebut akan menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha
meningkatkan penerimaan dalam negeri.
Prinsip ketiga yang diterapakan oleh pemerintahan Orde Baru dalam
APBN adalah, dinamis yang berarti peningkatan tabungan pemerintah untuk
membiayai pembangunan. Dalam hal ini pemerintah akan berupaya untuk
mendapatkan kelebihan pendapatan yang telah dikurangi dengan pengeluaran
rutin, agar dapat dijadikan tabungan pemerintah. Oleh karena itu,
pemerintah dapat memanfaatkan tabungan tersebut untuk berinvestasi dalam
pembangunan.
Kebijakan pemerintah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu derelgulasi
perbankan dan reformasi perpajakan. Akan tetapi, kebijakan demikian
membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama. Akibatnya, kebijakan untuk
mengurangi bantuan luar negeri tidak dapat terjadi karena jumlah
pinjaman luar negeri terus meningkat. Padahal disaat yang bersamaan
persentase pengeluaran rutin untuk membayar pinjaman luar negeri terus
meningkat. Hal ini jelas menggambarkan betapa APBN pada masa
pemerintahan Orde Baru sangat bergantung pada pinjaman luar negeri.
Sehingga pada akhirnya berakibat tidak dapat terpenuhinya keinginan
pemerintah untuk meningkatkan tabungannya.
B. Masa Reformasi (Demokrasi Liberal)
Pada masa krisis ekonomi,ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde
Baru kemudian disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh
pemerintahan Presiden Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal
ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan ekonomi.
Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa
mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum
melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi.
Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas
politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum
ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari
keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan
orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan
mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate
yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya,
kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah
yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan
hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi
persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
a)Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada
pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar
negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b)Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan
negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan
negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban
negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi,
karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi.
Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali
untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan
nasional.
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan
kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat
miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan
pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh
untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan
infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta
mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi.
Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada
bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan
kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan
kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu
ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor
asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan.
Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah
kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa
utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan
Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan
kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar
negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan
ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk
miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05
juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal,
antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih
sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga
kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain
itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan
kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi
pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang
investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih
kurang kondusif.
Masalah pemanfaatan kekayaan alam:
Pada masa Orde Baru konsepnya bertolak belakang dengan orde lama.Apa
yang bisa digadaikan; digadaikan. Kalo bisa ngutang ya ngutang. Yang
penting bisa selalu makan enak dan hidup wah. Rakyat pun merasa hidup
berkecukupan pada masa Orba. Beras murah, padahal sebagian adalah beras
impor. Beberapa gelintir orang mendapat rente ekonomi yang luar biasa
dari berbagai jenis monopoli impor komoditi bahan pokok, termasuk beras,
terigu, kedelai dsb. Semua serba tertutup dan tidak tranparan. Jika ada
orang mempertanyakan, diancam tuduhan subversif. Hutan dijadikan sumber
duit, dibagi menjadi kapling-kapling HPH; dibagi-bagi ke orang-orang
tertentu (kroni) secara tidak transparan. Ingat fakta sejarah: Orde Baru
tumbang akibat demo mahasiswa yang memprotes pemerintah Orba yang
bergelimang KKN. Jangan dilupakan pula bahwa ekonomi RI ambruk parah
ditandai Rupiah terjun bebas ke Rp 16.000 per dollar terjadi masih pada
masa Orde Baru.
Masa Reformasi krisis ekonomi parah sudah terjadi. Utang LN tetap
harus dibayar. Budaya korupsi yang sudah menggurita sulit dihilangkan,
meski pada masa Presiden SBY pemberantasan korupsi mulai kelihatan
wujudnya.. Rakyat menikmati kebebasan (namun sepertinya terlalu
“bebas”). Media masa menjadi terbuka.
Yang memimpikan kembalinya rezim totaliter mungkin hanyalah sekelompok orang yang dulu amat menikmati previlege dan romantisme kenikmatan duniawi di zaman Orba.Sekarang kita mewarisi hutan yang sudah rusak parah; industri kayu yang sudah terbentuk dimana-mana akibat dari berbagai HPH , menjadi muara dari illegal logging.
System pemerintahan:
Orde baru : kebijakan masih pada pemerintah, namun sektor ekonomi
sudah diserahkan ke swasta/asing, fokus pada pembangunan ekonomi,
sentralistik, demokrasi Pancasila, kapitalisme.
Soeharto dan Orde Baru tidak bisa dipisahkan. Sebab, Soeharto
melahirkan Orde Baru dan Orde Baru merupakan sistem kekuasaan yang
menopang pemerintahan Soeharto selama lebih dari tiga dekade. Betulkah
Orde Baru telah berakhir? Kita masih menyaksikan praktik-praktik nilai
Orde Baru hari ini masih menjadi karakter dan tabiat politik di negeri
ini. Kita masih menyaksikan koruptor masih bercokol di negeri ini.
Perbedaan Orde Baru dan Orde Reformasi secara kultural dan substansi
semakin kabur. Mengapa semua ini terjadi? Salah satu jawabannya, bangsa
ini tidak pernah membuat garis demarkasi yang jelas terhadap Orde Baru.
Tonggak awal reformasi 11 tahun lalu yang diharapkan bisa menarik garis
demarkasi kekuatan lama yang korup dan otoriter dengan kekuatan baru
yang ingin melakukan perubahan justru “terbelenggu” oleh faktor
kekuasaan.Sistem politik otoriter (partisipasi masyarakat sangat
minimal) pada masa orba terdapat instrumen-instrumen pengendali seperti
pembatasan ruang gerak pers, pewadahunggalan organisasi profesi,
pembatasan partai poltik, kekuasaan militer untuk memasuki
wilayah-wilayah sipil, dll.
Orde reformasi : pemerintahan tidak punya kebijakan (menuruti alur
parpol di DPR), pemerintahan lemah, dan muncul otonomi daerah yang
kebablasan, demokrasi Liberal (neoliberaliseme), tidak jelas apa
orientasinya dan mau dibawa kemana bangsa ini.
Posting Komentar