BESTPROFIT FUTURES - Presiden Yang Paham Mata Uang
”Bagaimana cara menghancurkan sebuah negara dengan cepat?,” tanya
dosen Aspek Keuangan Global di Magister
Ekonomi Kebijakan Publik FE-UI, mengawali kuliah, pekan ini.Pernyataan itu
disambut tujuh mahasiswa di ruang itu dengan memasang wajah serius. Lewat 5
menit belum ada yang menjawab, meskipun wajah menunjukkan ekspresi berpikir.
Tidak jelas apa yang dipikirkan para mahasiswa itu.
Tanpa memberikan jawaban, sang dosan menggambar segitiga di papan tulis dan
menulis tiga indikator makro ekonomi di setiap sudut segi tiga, yaitu suku bunga, inflasi, dan nilai tukar.
Dia menggambar panah timbal balik di antara ketiganya sebagai penjelasan bahwa
inflasi, suku bunga dan mata uang saling berpengaruh.
Inflasi adalah indikator paling
populer karena berpengaruh sampai ke perut. Hampir tidak ada manusia di muka
Bumi ini yang tidak terpengaruh oleh inflasi. Sementara itu, harga barang,
tidak lepas dari nilai tukar. Jika inflasi naik, mata uang melemah, demikian
sebaliknya.
“Kalau inflasi tinggi terus, bisa-bisa anak saya putus sekolah karena harga
naik,” ujar Ratna, seorang ibu rumah tangga.“Bagaimana hubungannya dengan suku
bunga? Suku bunga tidak dapat berbuat banyak. Suku bunga hanyalah gambaran atas ekspektasi inflasi pada masa
mendatang,” ujar dosen itu.
Jadi, intinya terletak pada mata uang.
Mengapa harga mata uang bisa naik turun?
Dia menjelaskan melemah atau menguatnya mata uang memang menjadi ancaman
bagi perekonomian sebuah negara. Ancaman itu muncul sejak kebangkrutan sistem
Bretton Woods, sistem moneter internasional (1947- 1971) yang mematok nilai
tukar atas harga emas US$35 per ons.
Biaya pengendalian
Direktur Perencanaan Makro Kemeneng
PPN/Bappenas Bambang Prijambodo mengatakan ancaman fluktuasi memang
menyebabkan biaya pengendalian nilai tukar sangat besar.Selain tergantung arus
barang dan arus modal, mata uang juga perlu dijaga dari spekulator. Kebijakan
moneter bukan sekadar memangkas suku bunga, tetapi menyerap atau melempar uang
asing di pasar.
Kehancuran Bretton Woods memicu penguatan dolar AS dan segelintir mata uang
negara maju. Adapun negara lainnya terus berjuang mengatasi gejolak nilai
tukar.
Eropa tidak mau tinggal diam. Di bawah komando Jerman dan Prancis, kawasan
itu mulai menggunakan Euro, mata
uang tunggal, pada 1 Januari 1999, setelah berkutat dengan berbagai kajian
sejak 1957 atau pada saat dibentuknya European Economic Community melalui
Perjanjian Roma.
Setelah itu, mata uang 16 negara yang tergabung dalam Euro Zone menguat,
sejajar dengan dolar AS yang masih menguasai perdagangan dunia.
Di luar kelompok itu, dunia semakin bergantung pada dolar AS, apalagi uang
menjadi komoditas, bukan sekadar alat pembayaran. Ibaratnya, dari US$91 miliar
dolar AS yang beredar per hari, hanya US$1 miliar yang menjadi alat bayar.
Selebihnya menjadi komoditas perdagangan.
Sebagai komoditas, uang internasional itu menyebabkan tekanan terhadap mata
uang negara yang masih tergantung kepada dolar AS sangat tinggi. Pantas saja,
jantung indikator ekonomi ini naik turun dalam hitungan detik, belum lagi
ancaman spekulan yang dapat muncul setiap waktu.
“Semakin rendah harga mata uang di sebuah negara, semakin tidak penting dia
di pasar internasional. Jika ini terjadi mata uang itu semakin rapuh atau
ringkih,” jelas sang dosen.
Kalau begitu, mata uang sangat erat hubungannya dengan kedaulatan bangsa.
Nah, para mahasiswa menjadi ragu, apakah benar fundamental ekonomi Indonesia
kuat, seperti yang dikatakan pemerintah. Contohnya, cadangan devisa hanya
dipersiapkan untuk membiayai ekspor selama 3 bulan, yaitu US$54,5 miliar sampai
akhir Maret 2009.
“Maraknya spekulasi dapat menghantam mata uang domestik setiap saat sehingga
jika ingin menghancurkan sebuah negara, tinggal menghancurkan saja mata
uangnya,” ungkap seorang mahasiswa.
Matauang tunggal
Jadi, apa solusinya? Bagaimana dengan kerjasama pertukaran mata uang
(Bilateral Swap Currency Arrangement/BSCA) Indonesia–Jepang, Korsel–China
melalui Chiang Mai Initiative?
Bagaimana pula dengan Asean, bukankan target akhir kerja sama kawasan adalah
membentuk Optimum Currency Are (OCA) yang diimplementasikan dengan mata uang
tunggal?
BSCA hanya efektif dalam jangka pendek. Serangan terhadap mata uang akan
terus berlanjut, karena dalam sejarah, kreativitas spekulator tidak pernah
menurun. Ide menjadikan mata uang lokal sebagai mata uang internasional tidak
mustahil, tetapi kapan?
Euro terbentuk lebih dari 50 tahun. Dolar AS pernah menguasai perdagangan
dunia sampai 70% dan secara politik sangat kuat. Belum lagi persoalan
kedaulatan. Membentuk sebuah mata uang tunggal di kawasan, sama saja
menyerahkan sebagian kedaulatan negara untuk dikelola bersama, seperti negara
pengguna euro.
Apakah ada cara yang lebih efektif?
Mengikuti cara Eropa, Asean telah membentuk Asean Economic Community (Masyarakat Ekonomi Asean/AEC) dalam
Deklarasi Asean Concord II Bali pada
2003. Namun, sejauh ini justru kerja sama itu terlihat semakin jauh dan Asean
tampaknya mulai menggali hubungan bilateral dengan negara di luar Asean.
Sang dosen menyatakan pembentukan mata uang tunggal tidak sekadar komitmen,
teori, dan pengujian.
Kriteria paling penting adalah keinginan politik dari kepala negara. Perlu
presiden yang memahami urgensi mata uang dalam menjaga kelangsungan sebuah
negara. Mata uang tunggal tidak hanya membutuhkan ekonomi kuat, tetapi posisi
politik sebuah negara itu di mata internasional. OCA memang tampaknya lebih
rasional.
Namun, apakah calon-calon presiden, seperti Prabowo, dan Joko Widodo yang
akan bertarung pada Pemilu 9 Juli 2014 memahami persoalan ini. Kalau begitu,
dicari presiden yang paham mata uang?
Posting Komentar