Bestprofit Futures - Infaq dan Sedekah Dalam Al Quran
Dalam
Al Quran, Allah Swt. berfirman tentang
keutamaan bersedekah dan berinfak di jalan-Nya. Apa yang disampaikan Al Qur’an
tersebut diperkuat dan diperjelas oleh Rasulullah saw. melalui hadits-haditnya.
Pada bagian ini kita lihat sebagian di antaranya.
Pertama: ”Dan di antara orang-orang Arab Badui itu ada yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan memandang apa yang diinfakkannya
(di jalan Allah) sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai jalan
untuk (memperoleh) doa Rasul. Ketahuilah,
sesungguhnya infak itu suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada
Allah). Kelak Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat (surga)-Nya;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS At Taubah, 9: 99)
Berdasarkan
ayat ini, sedekah
akan mendekatkan kita kepada Allah, Zat Yang Maha Pemberi rezeki. Dekat dengan
Allah Yang Mahakaya akan menjamin terjaganya rezeki dan harta yang kita miliki.
Artinya, semakin bakhil kita, akan semakin jauh kita dari rezeki dan nilai
hakiki kekayaan yang sebenarnya.
Sejatinya,
pemurah adalah sifat yang dimiliki Allah Swt. “Akulah Ar Rahmân dan Ar
Rahîm. Aku petikkan baginya dari nama-Ku…,” demikian sabda Allah Swt. dalam
sebuah hadits qudsi. Pancaran sifat ini kemudian “diserap” oleh para nabi dan
orang-orang saleh sehingga menjadi akhlak utama mereka. Di antara semua
manusia, Rasulullah saw. adalah manusia paling mampu mencontoh sifat pemurah
ini.
Dalam
sebuah hadits disebutkan bahwa kita diperintahkan untuk berakhlak dengan akhlak
Allah, takhalluq bi akhlâqillâh. Untuk itu, kita pun dituntut untuk
menjadi seorang pemurah karena itulah satu sifat Allah. Sebagai pengamalan
kongkret, akan sangat baik untuk kita mulai membiasakan diri menyisihkan sebagian
rezeki kita untuk orang lain, entah itu untuk orang tua, saudara, teman,
tetangga, atau pun guru. Ada baiknya orang-orang yang memiliki hubungan
kekeluargaan lebih didahulukan, kemudian tetangga dekat, tetangga jauh, dan
seterusnya.
Merancang
siapa orang yang akan kita kunjungi untuk bersilaturahmi dan memberikan hadiah
kepadanya juga sangat baik. Akan sangat baik jika dalam daftar perencanaan
tersebut bukan hanya orang-orang yang kita sukai atau yang sering berbuat
kebaikan kepada kita. Masukkanlah orang-orang yang selama ini membenci dan
menjauhi kita, terutama dari keluarga kita sendiri. Berilah mereka hadiah yang
berarti baginya. Menurut Rasulullah saw., ini adalah sebuah keutamaan. “Sedekah yang paling
utama ialah kepada kerabat yang memendam permusuhan.” (HR Muslim)
Sahabat
‘Uqbah bin Amir pun mengungkapkan bahwa Rasulullah saw. pernah menasihati
dirinya sebagai berikut.
“Wahai
‘Uqbah, maukah engkau kuberitahukan tentang akhlak penghuni dunia dan akhirat
yang paling utama? Yaitu menghubungi orang yang memutuskan hubungan denganmu,
memberi orang yang pernah menahan pemberiannya kepadamu, dan memaafkan
orang-orang yang pernah menganiayamu.” (HR Hakim)
Sedekah atau hadiah
yang kita berikan tidak harus selalu barang mahal. Yang penting, hal tersebut
bermanfaat, meskipun sederhana. Yang paling utama adalah suasana batin dan
keikhlasan serta cara kita dalam melakukannya. Itulah yang akan berbekas.
Tidak
akan pernah merugikan kita melakukan semua ini. Apabila kita belum mampu
beribadah dengan baik, jarang tahajud, jarang puasa dan
shalat sunnah, baca Al Qur’an baru sesekali, alangkah baiknya apabila kita
selalu berbuat baik kepada sesama. Allah Swt. pasti akan menolong kita. Allah berfirman
sebagai berikut.
“Akulah
Ar Rahmân dan Ar Rahîm. Aku petikkan baginya dari nama-Ku. Barang siapa yang
menghubungkan, niscaya Aku akan menghubunginya; dan barang siapa memutuskannya,
niscaya Aku memutuskan hubungan dengannya.”
Rasulullah
saw. pun pernah berpesan dengan kata-kata yang indah sebagai berikut.
“Orang
yang pemurah itu dekat kepada Allah, dekat kepada manusia, dekat kepada surga,
dan jauh dari api neraka. Sementara itu, orang kikir jauh dari Allah, jauh dari
manusia, jauh dari surga, dan dekat dari api neraka.”
Kedua: “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan
Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai
ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan
Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (QS Al Baqarah, 2: 261)
Artinya,
minimal 700 kali lipat ganjaran dari Allah Swt. bagi siapa pun yang
membelanjakan hartanya di jalan Allah. Mengapa disebut minimal? Ada sebuah
perumpamaan sangat baik yang diungkapkan oleh Ustaz Arifin Ilham dalam sebuah
ceramahnya. Menurutnya, analogi atas sedekah itu sebagai
berikut.
- Tanaman atau tumbuhan, berupa sebuah pohon yang memiliki tujuh cabang dan setiap cabang memiliki tujuh ranting. Kalau rantingnya seratus, berapa banyak daun-daunnya, berapa banyak buahnya, berapa banyak bunganya, kemudian berapa banyak bibit-bibit baru yang dilahirkannya, berapa banyak perkembangannya? Akan sangat sulit bagi kita untuk menghitungnya. Tentu saja ada catatan bahwa yang ditanam adalah bibit unggul (harta terbaik, terhalal), di tanam di tempat yang paling subur (diberikan kepada yang paling berhak: kaum kerabat yang fakir miskin, yang bekerja untuk kita, kepada tetangga, guru kita, dan lainnya), disiram dengan air (doa, istighfar, dan amal saleh), dan dijaga dari hama dan bakteri perusak (ujub, riya, sum’ah, takabur, tidak ikhlas, dan lainnya)[1]
- Kelipatan. Allah Swt. melipatgandakan dari satu menjadi tujuh kemudian menjadi seratus. Seratus ini bukan angka mati karena masih mungkin untuk berkembang. Kemudian, Allah Swt. mengunci dengan kata ”Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Boleh jadi, sedekah kita menjadi tabungan amal produktif yang akan Allah Swt. lipatgandakan sesuai dengan kehendak-Nya. Ada pesan yang tersirat di sini, “Wahai hamba-Ku, jangan khawatir, akan Aku luaskan rezekimu. Sekecil apa pun, Aku tahu kebutuhan dan amal baikmu.” Maka dari itu, berbuatlah atas dasar batas maksimal kemampuan kita. Jika kita hanya mampu bersedekah seratus rupiah, berikanlah yang seratus rupiah itu. Jika kita memiliki keluasan rezeki dan mampu bersedekah satu juta, berikanlah yang satu juta itu. Jumlah tidak menjadi tolok ukur utama penilaian Allah Swt. karena setiap orang berbeda-beda kemampuannya. Tolok ukur penilaian adalah persentase dan keikhlasan dari sedekah yang kita berikan.
Ketiga: ”Katakanlah, ’Sungguh, Tuhanku melapangkan rezeki dan
membatasinya bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.’ Dan apa
saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi Rezeki yang
terbaik.” (QS Saba, 34: 39)
Ayat
yang mulia ini menyiratkan sebuah pesan bahwa tidak akan ada yang hilang dari
rezeki yang kita nafkahkan di jalan Allah Swt. Justru, dengan disedekahkan
itulah harta kita menjadi kekal. Sebagai contoh, kita punya uang sepuluh ribu,
dua ribunya kita sedekahkan, dan sisanya kita gunakan untuk kepentingan
sendiri. Dalam pandangan Allah Swt., uang yang dua ribu itulah rezeki kita
sebenarnya yang akan menolong kita di dunia dan di akhirat.
Tidaklah
kita menyedekahkan kelebihan harta kita kecuali akan Allah ganti semuanya
dengan yang lebih baik. Tidak ada kerugian. Yang ada hanyalah keuntungan. Dalam
beberapa ayat Al Qur’an, Allah Swt. menyebut harta yang kita sedekahkan dengat
kata ”pinjaman”. Artinya, Allah Swt. meminjam harta yang kita miliki dan Dia
akan mengembalikannya dengan berlipat ganda pada saat kita sangat
membutuhkannya.
Mahasuci
Allah. Mahadermawan Dia. Padahal, sangat mudah bagi Dia untuk mengambil harta
tersebut walau dengan cara paksaan sekalipun karena semua adalah milik-Nya.
Harta yang dimiliki manusia hanyalah sedikit saja dari harta milik-Nya yang Dia
titipkan kepada manusia. Oleh karena itu, sampai detik ini, tidak ada orang
berinfak secara ikhlas yang menjadi fakir miskin. Mengapa? Karena Allah dan Rasul-Nya telah berjanji bahwa dengan sedekah, seseorang akan
mendapatkan rezeki, malaikat pun akan mendoakan untuk kebaikan dan
pelipatgandaan rezeki bagi orang yang gemar bersedekah. Selain itu, persentase sedekah yang wajib
dikeluarkan pun sangat kecil jika dibandingkan dengan keseluruhan harta yang
Allah Swt. titipkan, yaitu 2,5 persen.
Ada
hal menarik ketika turun surat Saba ayat 39 ini. Para sahabat berlomba untuk
bersedekah. Kisah yang paling monumental adalah ”persaingan” antara Abu Bakar
dan Umar bin Khattab dalam menafkahkan hartanya di jalan Allah. Dikisahkan,
Umar bin Khattab datang kepada Rasulullah saw. dengan membawa setengah dari
harta yang dimilikinya lalu dia menyerahkannya. Rasulullah saw. pun takjub
dengan pengorbanan sahabatnya tersebut. Tidak lama kemudian, datanglah Abu
Bakar membawa seluruh harta bendanya lalu diletakkan antara dua tangan
Rasulullah saw. Melihat banyaknya harta yang dibawa Abu Bakar, Rasulullah saw.
terheran-heran lalu bertanya kepadanya, ”Wahai sahabatku, kalau sudah seluruh
harta bendamu engkau korbankan, apakah lagi yang akan engkau tinggalkan untuk
keluargamu?”
Abu
Bakar terdiam lalu menjawab, ”Saya tinggalkan mereka Allah dan Rasul-Nya.”
Demikianlah
kehebatan jiwa seorang kader terbaik Rasulullah saw.
Keempat: ”… ada yang memandang apa yang diinfakkannya (di jalan
Allah) sebagai suatu kerugian; dia menanti nanti mara bahaya menimpamu,
merekalah yang akan ditimpa mara bahaya. Allah Maha Mendengar, Maha
Mengetahui.” (QS At Taubah, 9: 98)
Sesungguhnya,
infak dan sedekah
akan menghindarkan kita dari kerugian, bencana, kesusahan, dan marabahaya. Sedekah akan mampu
mengubah takdir buruk seseorang menjadi takdir baik.
Ada
beragam bala bencana di sekitar kita: dari atas, panas berkepanjangan; dari
bawah, gempa bumi; dari samping, perampokan, gangguan orang jahat, dan
sebagainya. Ternyata, semua itu bisa dihindarkan melalui infak dan sedekah. Maka dari itu,
sangat jauh disebut cerdas orang yang kikir dan menahan hartanya karena dia
telah mengundang bala bencana untuk menghampiri dirinya. Rasulullah saw.
menyebutkan bahwa sedekah
itu bisa menolak bala bencana dan memperpanjang umur. Andaipun takdir buruk
tetap menimpanya, itu menjadi sarana dari Allah untuk mengangkat derajat dan
menjadi batu loncatan baginya untuk mendapatkan nikmat yang lebih besar.
Saya
memiliki pengalaman berharga dengan sedekah ini. Suatu
hari, Allah Swt. memberi saya hidayah untuk bersedekah. Saat itu di saku ada
uang sekitar 92 ribu rupiah. Delapan puluh ribu rupiah saya sedekahkan dan
sisanya saya simpan untuk ongkos pulang dan membeli makanan. Keesokan harinya,
ketika pagi-pagi masuk kantor, saya terpeleset dan jatuh dengan muka menghadap
ke depan. Di hadapan saya ada kursi yang sandarannya sudah lepas sehingga besi
penyangganya yang runcing tersembul ke luar. Ujung besi tersebut berada searah
dengan mata. Menurut perhitungan, ketika jatuh itu, ”seharusnya” ujung besi
tersebut menusuk salah satu mata saya. Namun ajaib, ketika saya jatuh, ujung
besi tersebut tidak mengenai apa pun dari badan saya. Seperti ada kekuatan yang
mendorong saya untuk jatuh ke samping kursi. Padahal, saya tidak memiliki
kekuatan lagi untuk menahan jatuhnya badan atau berpegang ke dinding. Boleh
jadi, sedekah yang delapan
puluh ribu itulah yang menjadi ”pemancing” datangnya pertolongan Allah. Kalau
tidak, bukan hanya besi itu yang akan menancap di mata, melainkan juga pecahan
kaca dari kaca mata yang saya pakai yang akan menusuk dan merusakkan kedua mata
ini.
Kelima: ”Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang
hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala
di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih
hati.” (QS Al Baqarah, 2: 274)
Allah
Swt. telah berjanji bahwa sedekah akan membuat
hati menjadi tenang dan tenteram, jauh dari kegelisahan dan penyakit-penyakit
kejiwaan. Betapa tidak, sedekah
akan menanamkan semangat kasih sayang dan silaturahmi di antara sesama manusia.
Sedekah itu pintu
silaturahmi dan pintu persaudaraan. Sedekah bisa membuat
lawan menjadi kawan, musuh menjadi saudara, yang benci menjadi cinta. Bahkan,
lebih jauh lagi, sedekah
yang dilakukan secara berkesinambungan akan mampu melahirkan keseimbangan di
tengah-tengah masyarakat sehingga terjadinya kesenjangan sosial dan rusaknya
tatanan kehidupan bermasyarakat bisa diminimalisasi. Oleh karena itu, Rasulullah
saw. menganjurkan agar kita selalu berbuat baik kepada sesama, sekalipun
terhadap seorang kafir.
Ada
sebuah kisah dari Asma binti Abi Bakar. Dia berkata, “Pada masa Rasulullah saw.
Hidup, ibuku datang menemuiku dan dia adalah seorang perempuan musyrik. Aku
meminta fatwa dari Rasulullah saw., ’Ibuku menemuiku dan dia ingin aku
memberikan hadiah untuknya. Apakah aku harus bersikap baik kepadanya?’ Rasul bersabda, ’Ya, bersikap baiklah kepada
ibumu’.”
Sebuah
kebaikan berpotensi melahirkan kebaikan-kebaikan lainnya. Betapa banyak orang
yang terbuka hatinya karena sebuah kebaikan yang sepele dalam pendangan
manusia. Saling memberi dan bersedekah sangat efektif untuk mempererat tali
persaudaraan dan menumbuhkan kasih sayang di antara sesama. Dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut.
“Wahai
kaum muslimat, jangan memandang rendah sedekah yang diberikan
tetanggamu, meskipun sekadar telapak kaki kambing.” (HR Bukhari)
Mengapa
Rasulullah saw. melarang kita memandang remeh sedekah dan hadiah yang
sangat sederhana sekalipun? Menurut beliau, sedekah yang diberikan
secara ikhlas dan dengan cara yang baik akan mampu melembutkan hati dan
mempersatukan hati-hati yang terpisah.
“Bersalam-salamlah
kamu, niscaya hal itu akan menghilangkan perasaan iri hati. Saling memberilah
di antara kamu, niscaya kamu akan saling mencintai antara sesama kamu dan hal
itu akan menghilangkan permusuhan.” (HR Malik)
Keenam: sedekah
akan membuat yang fana menjadi kekal. Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut.
“Apabila
anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah
amalnya, kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariah, ilmu
yang bermanfaat bagi manusia, dan anak saleh
yang mendoakannya.” (HR Muslim).
Inilah
peluang emas bagi kita untuk menabung harta dan perbekalan di akhirat. Bukankah
kehidupan dunia itu sementara sifatnya dan kita akan menuju kehidupan yang
kekal abadi? Al Quran menyebutkan sebagai berikut.
”Wahai
kaumku! Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan
sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS Al Mu’min, 40: 39)
Posting Komentar