BEST PROFIT FUTURES - Rate
of interest and inflation have relation which are positive. Excelsior
rate of interest result inflation rate excelsior. And more highly of
inflation hence more and more high also rate of interest. As a result
economics will be difficult progressively and possibility the happening
of economic crisis. Fact have indicated that based the economics base of
interest make economics progressively often experience of economic
crisis, and more and more impecunious state and people effect of
interest rate. The economics without interest better and do not to
crisis than relied on economics with interest.
Dalam aktivitas ekonomi; rumah tangga,
perusahaan dan pemerintah akan selalu membeli barang-barang baru atau
barang investasi untuk meningkatkan persediaan modalnya atau mengganti
barang yang ada yang telah habis masa pakainya. Pembelain barang-barang
baru atau barang investasi di AS rata-rata mencapai 15% dari GDP
(Mankiw. 2007). Dalam teori ekonomi konvensional, jumlah barang-barang
modal yang diminta (investasi) sangat tergantung pada tingkat bunga (interest)
sebagai ukuran biaya dari dana yang digunakan untuk membiayai investasi
tersebut. Itulah sebabnya jika suku bunga tinggi, maka investasi atau
proyek-proyek lebih sedikit dibandingkan dengan pada saat suku bunga
rendah
.
Dalam hal tabungan atau deposito, maka
tingkat bunga selalu menjadi acuan lagi penambung maupun deposan.
Seandainya seseorang mendepositokan uangnya sebesar Rp 500 juta dengan
suku bunga 10%, apakah penabung dan deposan tersebut akan lebih kaya
pada tahun berikutnya?. Jawabnya belum tentu, dalam konsep ekonomi
konvensional nilai uang saat ini tidak akan sama dengan nilai uang di
masa datang. Hal itu disebabkan karena adanya tingkat inflasi.
Berdasarkan data empiris, tingkat
inflasi selalu lebih tinggi dari suku bunga, akibatnya daya beli dari
uang penabung atau deposan mengalami penurunan meskipun secara absolut
jumlah uangnya sudah bertambah dengan adanya tambahan dari bunga yang
diterimanya. Berdasarkan fakta ini, maka jelas bunga tidak membuat orang
lebih kaya jika uangnya ditabungkan atau didepositokan, tetapi malah
sebaliknya.
Sekarang timbul pertanyaan, mengapa
inflasi atau suku bunga membuat orang lebih miskin? Jawabnya yaitu
bahwa, inflasi menimbulkan biaya. Jika inflasi menimbulkan biaya, maka
bunga juga menimbulkan biaya. Biaya uang yaitu suku bunga (interest) yang ditimbulkan oleh inflasi (Mankiw. 2007) yaitu;
1). Biaya pulang pergi ke bank untuk mengambil uang (shoeleather cost),
2). Biaya perusahaan untuk merubah harga karena inflasi (menu cost),
3). Biaya ketidak nyamanan hidup dengan selalu berubahnya harga,
4). Pajak yang dibebankan pada
keuntungan (sebab pajak selalu menenetukan besarnya pajak dari
keuntungan nominal bukan dari keuntungan riil, padahal dengan adanya
inflasi, maka keuntungang riil lebih kecil sedangkan pajak yang
dibayarkan lebih besar).
Dalam teori klasik, bahwa “bunga” merupakan harga kapital (price of capital),
dimana apabila permintaan modal (uang) naik maka bunga akan naik pula,
tetapi orang meminta uang atau meminjam uang bukan semata-mata untuk
investasi tetapi juga untuk transaksi (konsumsi) dan spekulasi. Meskipun
demikian peminjam tetap dikenakan bunga. Itulah sebabnya dalam ekonomi
kapitalis, kegiatan transaksi ekonomi lebih banyak di sektor keuangan
ini dibandingkan dengan sektor riil.
Selanjutnya diketahui pula bahwa,
tingkat bunga mempunyai hubungan dengan tingkat inflasi. Hubungan
tingkat bunga nominal dan tingkat bunga riil dengan inflasi dapat
ditulis sebagai berikut:
i = r + π
Persamaan di atas merupakan persamaan Irving Fisher (Fisher equation). Dari persamaan tersebut ditunjukkan bahwa, tingkat bunga bisa berubah karena dua alasan (Makiw. 2007) yaitu;
1). Karena tingkat bunga riil berubah dan
2). Karena tingkat inflasi berubah
Menurut teori kuantitas, kenaikan dalam
tingkat pertumbuhan uang sebesar 1 persen menyebabkan kenaikan tingkat
inflasi sebesar 1 persen, selanjutnya dari persamaan Fisher dapat
dinyatakan pula bahwa kenaikan 1 persen tingkat inflasi akan menaikkan
suku bunga nominal sebesar 1 persen. Dari fakta ini jelas bahwa suku
bunga dan inflasi mempunyai hubungan yang positif. Hubungan positif
antara suku bunga dan tingkat inflasi ditunjukkan dari data empiris
berikut ini;
Gambar. 1 Hubungan Tingkat Inflasi dan Sukubunga di Kanada 1960 – 1995
Sumber : Michael Parkin (September 1997)
Dari data empiris pada Gambar 1 di atas
terlihat bahwa tingkat suku bunga nominal dan inflasi mempunyai hubungan
yang positif. Di Negara-negara dengan tingkat inflasi yang tinggi, maka
tingkat bunga nominal cenderung tinggi pula. Meskipun data di atas
menunjukkan hubungan yang positif antara suku bunga dan inflasi, tetapi
pada data abad ke sembilan belas dan abad kedua puluh, tingkat bunga
yang tinggi tidak berhubungan dengan tingkat inflasi yang tinggi. Namun
demikian dari hasil penelitian Robert Shiler tahun 1997 (Mankiw. 2007)
bahwa 77 persen dari masyarakat yang di survey menyatakan bahwa inflasi
mengganggu daya beli mereka dan membuat mereka lebih miskin. Jika
inflasi membuat orang lebih miskin dan kita ketahui bahwa inflasi
mempunyai hubungan yang positif terhadap inflasi, maka ini berarti bahwa
“suku bunga membuat orang lebih miskin”. Dengan kata lain suku
bunga merusak daya beli dan memiskinkan orang yang meminjam uang maupun
yang tidak meminjam uang serta menurunkan tingkat kesejahteraan
masyarakat. Dengan kata lain “Inflasi = bunga” yaitu sama-sama menurunkan daya beli masyarakaat dan menjadikan masyarakat lebih miskin.
Bunga, Inflasi dan Krisis Global
Teori likuiditas atas bunga menjelaskan bahwa, bunga adalah harga uang, dan harga uang (bunga) ditentukan oleh jumlah uang (money supply). Dengan demikian, jika uang yang tersedia (money supply) rendah maka tingkat bunga akan naik dan tinggi. Sebaliknya, jika jumlah uang yang tersedia (money supply)
amat rendah, maka akan terjadi kesulitan likuiditas yang pada akhirnya
membuat perekonomian macet alias kriris. Krisis global yang terjadi saat
ini diantaranya disebabkan karena rendah jumlah uang yang tersedia
terutama di Amerika Serikat akibat kredit macet (subprime mortgage)
yang berdampak kebanyak negara dan akhirnya menimbulkan krisis keuangan
global. Kredit macet yang terjadi di Amerika Serikat tersebut
disebabkan karena naiknya suku bunga kredit dari 1 persen menjadi
sekitar 5% untuk subprime mortgage tersebut. Karena adanya
kenaikan suku bunga kredit tersebut, maka banyak nasabah yang tidak
mampu membayar kreditnya. Kredit macet ini mencapai 1,2 triliun US $
yang mengakibatkan macetnya sistem keuangan AS dan akhirnya kebanyak
negara di dunia. Dari fakta ini jelas bahwa penyebab krisis keuangan
dan krisis ekonomi global di picu oleh harga uang alias bunga (interest)
yang tinggi atau naik. Dan krisis tahun 2007 – 2008 ini barulah awal
(Smick. 2008), akan menyusul krisis-krisis lain bila sistem keuangan
yang berlaku tetap seperti ini.
Gambar 2. Data Inflasi dan Pertumbuhan Uang Beredar Internasional 1996 – 2004
Inflasi (%, skala logaritma)
Pertumbuhan jumlah uang beredar (%, Skala logaritma)
Sumber : Mankiw. 2007
Dengan sistem keuangan seperti saat ini, transaksi di pasar uang (financial market) lebih besar dibandingkan dengan transaksi di sektor riil. Volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation dan derivative market) dunia dalam sehari berjumlah US$ 1.5 trillion, sedangkan volume transaksi yang terjadi pada perdagangan dunia di sektor real hanya US$ 6 trillion setiap tahun (BI. 2009).
Diwany (2005) menyatakan bahwa sistem keuangan yang diterapkan di dunia saat ini bertentangan dengan konsep “entropi”. Entropi
menggambarkan tingkat ketidak teraturan dalam suatu sistem fisika, dan
secara alamiah laju peningkatan level ketidak teraturan atau entropi akan menurun dari waktu ke waktu. Sistem keuangan saat ini yang menerapkan bunga (interest)
menurut Diwany menyebabkan laju penurunan ketidak teraturan yang
semakin tingi dari waktu kewaktu. Diwany menjelaskan bagaimana kerusakan
lingkungan yang semakin parah akibat pembukaan lahan pertanian dengan
dana pinjaman yang didasarkan bunga. Berdasarkan analisis Michael Lipton
tahun 1992 (dalam Diwany. 2005) menyimpulkan bahwa, semakin tinggi suku
bunga maka semakin rendah insentif untuk menerapkan teknik pertanian
yang memperhatikan konservasi lingkungan. Selanjutnya Lipton menjelaskan
bahwa peningkatan suku bunga secara dramatis pada tahun 1977 – 1979
dan bertahan sampai sekarang, telah meningkatkan insentif dalam
kalangan rumah tangga, lingkungan bisnis dan pemerintah untuk
menghabiskan sumber-sumber daya alam sekarang serta mengabaikan akibat
yang ditimbulkannya di masa yang akan datang. Dari fakta ini, dapat
disimpulkan bahwa makin tinggi suku bunga maka makin besar kemungkinan
rusaknya lingkungan dan akan semakin besar sumber daya yang dikuras,
akibatnya akan semakin cepat bumi ini hancur.
Selanjutnya Murphy, Shleifer dan Vishny
tahun 1993 (Hermanto. 2001) mengemukakan bahwa dengan mengutamakan
bunga/ mencari bunga (rent-seeking) dalam aktivitas ekonomi menghambat pertumbuhan ekonomi. Ada dua alasan mengapa rent-seeking dan korupsi terlalu mahal bagi pertumbuhan ekonomi yaitu:
1) aktivitas rent-seeking meningkatkan returns. Dengan demikian peningkatan aktivitas rent-seeking
akan membuat lebih menarik daripada aktivitas produktif. Kondisi ini
dapat memacu pada keseimbangan dalam perekonomian, dengan tingkat rent-seeking yang sangat tinggi dan output yang rendah.
2).Rent-seeking, terutama public rent-seeking oleh pejabat pemerintah sangat memperparah aktivitas yang inovatif daripada aktivitas produksi tiap hari.
Fakta lain dari bunga (interest)
atau “riba” (dalam ekonomi Islam) menunjukkan bahwa tidak saja membuat
orang miskin tetapi juga membuat banyak negara (berkembang) makin miskin
dan makin besar hutangnya. Hutang negara berkembang lebih dari tiga trillion US dollars
dan masih terus tumbuh. Hasilnya adalah setiap laki-laki, wanita,
anak-anak di negara berkembang (80% dari populasi dunia) memiliki hutang
$ 600, dimana pendapatan rata-rata masyarakat pada negara yang paling
miskin kurang dari satu dollar per hari.
Selain itu, sistim bunga dalam sektor
keuangan telah menimbulkan krisis ekonomi. Sepanjang abad 20, (Roy
Davies dan Glyn Davies. 1996) dalam buku mereka a history of money from ancient times to the present day,
menyatakan bahwa telah terjadi lebih dari 20 krisis (kesemuanya
merupakan krisis sektor keuangan). Pasar finansial menjadikan dunia ini
melengkung, sehingga kita tidak bisa melihat apa yang ada dibalik kaki
langit. Pasar finansial selalu dipenuhi oleh informasi yang tidak pasti
dan tidak lengkap, tidak transfaran (Smick. 2008). Itulah sebabnya
menurut Smick, krisis keuangan yang terjadi pata tahun 2007 – 2008
measih merupakan krisis awal. Ini berarti bahwa krisis- krisis lain akan
terus bermunculan dan waktu terjadinya dari krisis satu ke krisis lain
semakin singkat.
Gambar 3. Perkembangan Total Hutang Negara-Negara Berkembang 1972 – 2000
Sumber: Bank Indonesia (2009).
Berdasarkan fakta yang ada, ternyata
negara yang ekonominya tidak terpengaruh secara signifikan terhadap
krisis ekonomi global yang terjadi akhir 2008 adalah negara-negara yang
tidak berhubungan dengan perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan
yang ada di Amerika Serikat. Dan dari perkiraan ternyata juga bahwa,
negara yang berbasis komoditi (bukan keuangan/financial seperti AS)
telah mengalami pemulihan ekonomi dari krisis global lebih dulu
dibandingkan dengan negara-negara yang berbasis pada sektor keuangan
(bunga). Hal ini diungkapkan oleh Norbert Walter (Rini, 2009) bahwa,
menurut Norbert Walter, Indonesia akan keluar dari kriris ekonomi lebih
awal karena, ekonomi Indonesia berbasis pada komoditi yang secara pasti
tidak tergantung pada tingkat bunga (interest)
Fakta lain menunjukkan bahwa sektor
keuangan yang menggunakan sistim non riba ternyata lebih mampu bertahan
dari krisis keuangan. Lihat saja bank-bank Islam di Malaysia,
Indonesia, Arab Saudi, ternyata tidak terpengaruh dengan krisis keuangan
yang terjadi akhir-akhir ini. Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa sistem
keuangan yang didasarkan riba atau bunga sudah pasti sudah tidak bisa
diandalkan di masa datang.
Posting Komentar