Redenominasi Rupiah dan Sistem Keuangan

Jumat, 09 Mei 20140 komentar

BEST PROFIT FUTURES - Tanggal 3 Agustus 2010 Gubernur Bank Indonesia merencanakan untuk melakukan redenominasi.



Apakah yang di maksud dengan Redenominasi ?
Apa yang melandasi dilakukannya Redenominasi Rupiah ?

Berikut akan kita ulas dengan sederhana mengenai Redenominasi Rupiah dan Sistem Keuangan.
Redenominasi yaitu penyederhanaan penyebutan satuan harga dan nilai rupiah. Dasar pemikiran pengajuan redenominasi mata uang rupiah ini adalah adanya inflasi yang tinggi, sehingga nilai mata uang terhadap barang semakin rendah dalam waktu singkat dan nilai nominal dalam mata uang semakin besar. Contoh kongkrit dari rendahnya nilai mata uang akibat inflasi yang tinggi pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1966 dimana tingkat inflasi pada saat itu mencapai 1000 %, bahkan menurut Hal Hill (2001) inflasi saat itu adalah 1500 %. Tingginya inflasi ini tercermin dengan adanya penurunan nilai mata uang rupiah (shanering) dari  Rp. 1000 (seribu rupiah) menjadi Rp 1 (satu rupiah), sedangkan inflasi tertinggi didunia yang pernah terjadi adalah di Zimbagwe dengan tingkat inflasi mencapai 2.500.000 persen.
Dengan tingginya tingkat inflasi, maka dimasa mendatang dibutuhkan  nilai mata uang yang lebih besar. Saat ini nilai mata uang rupiah tertinggi adalah Rp. 100.000. Apabila inflasi terus tinggi, maka pada 5 (lima) atau 10 (sepuluh) tahun lagi, Indonesia membutuhkan mata uang pecahan di atas Rp. 100.000 mungkin Rp. 200.000 atau Rp. 500.000 dan bahkan mungkin juga Rp 1.000.000. Jika hal itu memang terjadi maka, nilai uang terhadap barang akan semakin rendah. Artinya untuk membeli semacam barang diperlukan uang yang banyak sekali dan akan mempersulit sistim pencatatan akutansi keuangan.
 Untuk mengatasi masalah tersebut, maka Bank Indonesia merencanakan melakukan redenominasi nilai rupiah yang merupakan hasil kajian yang cukup lama. Jika redenominasi nilai rupiah ini diimplementasikan mulai tahun 2013, maka redenominasi rupiah akan rampung pada tahun 2020. Permasalahannya adalah apakah dengan dilakukannya redenominasi nilai rupiah, untuk masa datang nilai uang rupiah akan tetap stabil/tidak berubah lagi ?. Jawabnya belum tahu. Tulisan ini ingin mencoba membahasnya di lihat dari penyebab turunnya nilai mata uang terhadap barang dan sistem keuangan yang berlaku termasuk dalam hal ini penggunaan uang kertas (fiat money) yang saat ini digunakan di negara-negara dimuka bumi dikaitkan dengan redonominasi rupiah.
2. Sistim Keuangan Konvensional dan Inflasi
Inti dari permasalahan yang menyebabkan turunnya nilai mata uang terhadap barang adalah inflasi. Karena itu, permasalahan pokok dari kekhawatiran Bank Indonesia terhadap nilai uang rupiah kedepan adalah menyangkut penyebab tingginya nilai rupiah yaitu inflasi. Pertanyaan utamanya adalah mengapa terjadi inflasi dan apa penyebabnya?. Secara teoritis yang selama ini diketahui, ada 2 penyebab utama inflasi itu yaitu tarikan permintaan (demand full inflation) dan desakan biaya (cost push inflation). Terjadinya inflasi di Indonesia saat ini bukan karena tarikan permintaan tetapi lebih banyak karena desakan biaya dan sistim keuangan serta sistem ekonomi yang berlaku saat ini yaitu sistim kapitalis.
Kelemahan utama dari sistim kapitalis saat ini adalah menjadikan uang sebagai  komoditi dan alat spekulasi dalam perekonomian.  Karena uang sebagai komoditi maka, nilai uang tidak lagi sesuai dengan nilai riilnya.  Inilah penyebab mengapa nilai uang selalu merosot terhadap barang. Selain itu uang mempunyai fungsi sebagai alat produksi (uang dapat menghasilkan uang) melalui bunga (interest) yang dilakukan oleh bank. Bank merupakan mesin utama dalam sistim ekonomi kapitalis (Dwi Condro Triono. 2008).  Mesin kedua dari sistim ekonomi kapitalis adalah pasar modal yang notabene lebih bersifat spekulatif (judi), dan nilai saham lebih banyak ditentukan oleh opini pemilik modal. Pasar bursa selama ini tidak memberikan kontribusi yang nyata terhadap sektor riil, bahkan cenderung bersifat semu sehingga pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh pasar bursa menjadikan pertumbuhan ekonomi seperti balon (bubble economic) yang setiap saat mudah pecah/kempes.
Selain itu, sistim bunga dalam sektor keuangan telah menimbulkan krisis ekonomi. Tingkat bunga mempunyai hubungan dengan tingkat inflasi. Menurut teori kuantitas, kenaikan dalam tingkat pertumbuhan uang sebesar 1 persen menyebabkan kenaikan tingkat inflasi sebesar 1 persen, selanjutnya dari persamaan Fisher dapat dinyatakan pula bahwa kenaikan 1 persen tingkat inflasi  akan menaikkan suku bunga nominal sebesar 1 persen. Dari fakta ini jelas bahwa suku bunga dan inflasi mempunyai hubungan yang positif. Hubungan positif antara suku bunga dan tingkat inflasi ditunjukkan dari data empiris berikut ini;
 amri1
            Dari data empiris pada Gambar 1 di atas terlihat bahwa tingkat suku bunga nominal dan inflasi mempunyai hubungan yang positif. Di Negara-negara dengan tingkat inflasi yang tinggi, maka tingkat bunga nominal cenderung tinggi pula. Dari hasil penelitian Robert Shiler tahun 1997 (Mankiw. 2007) bahwa 77 persen dari masyarakat yang di survey menyatakan bahwa inflasi mengganggu daya beli mereka dan membuat mereka lebih miskin. Jika inflasi membuat orang lebih miskin dan kita ketahui bahwa inflasi mempunyai hubungan yang positif dengan bunga, maka ini berarti bahwa “suku bunga membuat orang lebih miskin”. Dengan kata lain suku bunga merusak daya beli dan memiskinkan orang yang meminjam uang maupun yang tidak meminjam uang serta menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dari fakta ini dapat dikatakan bahwa “Inflasi = bunga” yaitu sama-sama menurunkan daya beli masyarakaat dan menjadikan masyarakat lebih miskin.
Pasar finansial menjadikan dunia ini melengkung, sehingga kita tidak bisa melihat apa yang ada dibalik lengkungan (kaki langit) itu. Pasar finansial selalu dipenuhi oleh informasi yang tidak pasti dan tidak lengkap, tidak transfaran (Smick. 2008). Itulah sebabnya menurut Smick, krisis keuangan yang terjadi pada tahun 2007 – 2008 masih merupakan krisis awal. Sepanjang abad 20, (Roy Davies dan Glyn Davies. 1996) dalam buku mereka a history of money from ancient times to the present day, menyatakan bahwa, telah terjadi lebih dari 20 krisis ekonomi di bumi ini (kesemuanya merupakan krisis sektor keuangan). Ini berarti bahwa krisis-krisis lain akan terus bermunculan dan waktu terjadinya krisis satu ke krisis lain semakin singkat dan krisis-krisis itu menurunkan nilai uang terhadap barang.
Financial Inballance di AS disebut-sebut bukan karena kredit macet pada subprime mortgage tetapi disebabkan adanya perusahaan-perusahaan investasi dan bank yang bermain atau melakukan transaksi derevatif di sektor keuangan melalui collateralized debt obligations (CDOs). Kerugian akibat transaksi derevatif tersebutlah yang menyebabkan banyak lembaga keuangan terutama yang bergerak dalam sekuritas mengalami kebangkrutan. Transaksi produk derevatif sebagai alat hedging (perlindungan nilai) secara pasti menjadi alat spekulasi yang mempunyai resiko tinggi. Filosofi investasi di sekuritas yaitu high risk, higt return tapi nyatanya yang terjadi adalah high risk no return.
Lembaga keuangan AS Lehman Brothers yang bangkrut 15 September 2008 menjadi pemicu kebangkrutan lembaga keuangan lain di Amerika. Kasus-kasus kebangkrutan lembaga keuangan sekuritas tidak hanya terjadi di negara maju seperti Amerika, di negara berkembangpun mengalami hal yang serupa. Di Indonesia, kasus yang dialami Lehman Brothers dialami pula oleh PT. Antaboga Delta Sekuritas dan kemudian merembet pada Bank Century dan Sarijaya Sekuritas (Infobank. April 2009).
Bukti lain menunjukkan bahwa, dengan sistem keuangan konvensional seperti saat ini, transaksi di pasar uang (financial market) lebih besar dibandingkan dengan transaksi di sektor riil. Volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation dan derivative market) dunia dalam sehari mencapai US$ 1,5 trilliun, sedangkan volume transaksi yang terjadi pada perdagangan dunia di sektor real hanya US$ 6 trilliun setiap tahun (BI. 2009). Itu berarti bahwa dalam setahun dikurangi hari minggu dan sabtu (96 hari) maka transasksi keuangan di pasar uang sebesar US $ 1,5 triliun x 365 -96 = 403.5 triliun US$ per tahun sedangkan transaksi di pasar barang hanya US$ 6 triliun per tahun atau hanya 0,015 % dari transaksi pasar keuangan. Fakta ini menunjukkan ketidak seimbangan yang besar antara transaksi keuangan dengan transkasi barang. Ketidak seimbangan dalam sektor keuangan dan sektor riil memunculkan bubble economics yang selanjutnya merupakan awal dari malapetaka kehancuran ekonomi. Dari fakta ini jelas bahwa penyebab krisis keuangan dan krisis ekonomi global di picu oleh ketidak seimbangan antar jumlah uang dan barang serta harga uang alias bunga (interest) yang tinggi. Krisis tahun  2007 – 2008 merupakan krisis awal (Smick. 2008), selanjutnya akan menyusul krisis-krisis lain bila sistem keuangan yang berlaku tetap seperti saat ini.
Bukti-bukti di atas seperti macetnya kredit subprime mortagage, tingginya suku bunga, adanya spekulasi yang tinggi dan pasar bursa yang bersifat seperti gelembung, sangat tingginya transaksi pasar uang dibandingkan dengan transaksi perdagangan barang memperkuat bukti kegagalan sistem keuangan dan sistim ekonomi kapitalisme dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan negara. Karena itu, kapitalis bukanlah suatu sistem ekonomi yang segala-galanya. Kapitalis lebih cenderung menimbulkan perbedaan yang makin besar antara yang kaya dengan yang miskin serta melanggengkan kemiskinan.
.
3. Redenominasi Rupiah VS Sistem Keuangan Islam
3.1. Redenominasi Rupiah
Bukti-bukti yang telah diungkapkan di atas, menunjukkan bahwa sistem keuangan konvensional dalam hal ini kapitalis mempunyai resiko untuk terus menurunkan nilai mata uang termasuk rupiah. Dengan demikian redenominasi maupun sanering akan terus akan terjadi selama sistem keuangan yang berlaku tetap seperti yang berlaku saat ini. Karena itu, perlu dicari sistem keuangan yang tidak menimbulkan terjadinya sanering atau redenominasi mata uang.
Wacana Indonesia untuk melakukan redonominasi rupiah perlu menjadi pemikiran yang mendalam. Pengalaman di banyak negara yang sukses melakukan redonominasi mata uangnya seperti Turki, Polandia dan Rumania karena redonominasi dilakukan pada saat kondisi ekonomi stabil. Negara yang gagal melakukan redonominasi mata uangnya seperti Brasil, Nigeria, Ghana dan Zimbagwe (Wulan TP. 2011), karena dilakukan pada saat ekonomi sedang menglami guncangan. Bahkan Zimbagwe mengalami inflasi sampai 250 juta persen. Karena itu jika Indonesia ingin melakukan redonominasi, maka kondisi ekonomi harus stabil, pertumbuhan ekonomi tetap terjaga dan inflasi terkendali dan rendah.
Melaksanakan redonominasi rupiah pada tahun 2011 ini merupakan langkah yang tidak tepat. Hal ini disebabkan bahwa pada tahun 2010 lalu dan awal tahun 2011 ini inflasi mengalami peningkatan dan diperkirakan ancaman inflasi terus akan meningkat. Peningkatan ancaman inflasi disebabkan karena terjadi krisis pangan, naiknya harga minyak dunia. Selain itu dengan adanya rencana menaikkan gaji  para pejabat negara, jelas akan memicu inflasi yang lebih tinggi.
Untuk itu melaksanakan redonominasi rupiah perlu menunggu waktu yang tepat dan persiapan yang matang. Selain itu, apabila redonominasi dilakukan maka sistim keuangan perlu pula dilakukan perubahan yang mendasar atau penyesuaian. Alternatif yang mungkin adalah menggunakan sistem keuangan Islam. Mengapa kita harus menggunakan sistem keuangan Islam, karena sistem keuangan Islam secara faktual dapat mengeleminir kemungkinan terjadinya redenominasi, sanering, spekulasi dan munculnya bubble economic.
3.2. Sistem Keuangan Islam
Secara garis besar ada tiga perbedaan yang mendasar antara sistem keuangan Islam dengan sistem keuangan konvensional (Ascarya, 2007). Perbedaan itu seperti terlihat pada Tabel 1 yaitu meliputi :
  1. Dalam sistim keuangan Islam uang yang digunakan adalah bersifat full bodied/fully backed money.
  2. 100 persen menggunakan reserve banking system,
  3. Menggunakan prinsip bagi hasil.
Sedangkan dalam sistem keuangan konvensional dalam penerapannya pertama, uang yang digunakan adalah uang kertas (fiat money), kedua menggunakan fractional banking system dan ketiga, menggunakan prinsip bunga (interest).
amri6
1). Uang kertas (fiat money) dan Uang Emas.
      Uang kertas yang digunakan dalam sistim keuangan konvensional mempunyai kelemahan. Kelemahan utama yaitu nilai nominal uang dengan nilai intrinsiknya sangat jauh berbeda, sehingga memicu upaya orang untuk memalsukannya. Kelemahan lain yaitu apabila uang kertas tersebut terbakar maka habislah uang tersebut tidak meninggalkan bekas lagi, dan ketiga masa berlaku uang kertas singkat serta mudah rusak. Lain halnya dengan uang emas (logam) yang digunakan dalam Islam pada zaman Rasulullah seperti Dinar dan Dirham, nilai intrinsiknya hampir sama dengan nilai nominalnya. Uang emas atau uang logam tidak mudah rusak/habis meskipun terbakar. Pemilik uang tidak akan menjadi miskin walaupun uang milik terbakar. Upaya pemalsuan uang logam tidak akan berarti, karena nilai nominal dan nilai intrinsiknya hampir sama, karena itu orang akan mengalami kerugian apabila mereka memalsukannya.
2).  Perbedaan Prinsip Bunga dan Prinsip Bagi Hasil.
  1. a.      Sistem Bunga (riba)
Sistem keuangan yang menggunakan prinsip bunga, maka uang dapat menciptakaan uang melalui bunga. Karena itu, pemilik modal yang mempunyai modal akan semakin kaya dan selanjut akan menimbulkan konsentarsi uang pada pemilik modal.
amri2
Pemilik modal selalu akan meningkatkan kekayaannya (uang) melalui aktivitas yang lebih mudah yaitu dipasar finansial. Karena itu sektor finansial akan semakin tinggi, sebaliknya sektor riil akan semakin ditinggalkan sehingga muncul inflasi dan pada gilirannya menghambat kemajuan  ekonomi.
  • b.      Prinsip Bagi Hasil
Dengan prinsip bagi hasil, maka orang yang kaya akan memberikan sebagian kekayaanya pada orang yang belum berhasil.Mekanismenya yaitu pemilik modal memberikan pinjaman modal pada yang membutuhkan. Peminjam modal mengusahakan modal yang dipinjamkan dan mendapatkaan keuntungan. Dari keuntungan tersebut sebagian diberikan pada pemilik modal dan sebagian lagi menjadi milik peminjam sesuai dengan kesepakatan dengan demikian terjadi distribusi kekayaan dan pendapatan. Dengan adanya distribusi kekayaan dan pendapatan akan terjadi peningkatan permintaan yang berakibat pada peningkatan sektor riil dan selanjutnya meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.  Apabila terjadi kerugian, maka pemilik modal maupun peminjam tidak akan mendapat apa-apa namun peminjam harus mengembalikan modal yang dipinjamnya. Lain halnya dengan sistim bunga, peminjam harus tetap membayar tambahan (bunga atau riba) meskipun peminjam tidak mendapat keuntungan dari pinjamannya serta mengembalikan pinjaman awalnya. Dengen demikian akan terjadi peningkatan kekayaan bagi pemilik modal sedangkan peminjam/Debitur akan semakin berat untuk membayar bunga dan utang pokoknya.
 amri3
 Selanjutnya, sistem keuangan Islam tidak mengenal konsep time value of money seperti dalam sistem keuangan konvensional. Dalam sistem keuangan Islam yang dikenal adalah economic value of time. Artinya yang berharga itu adalah waktu bukan uang. Dengan adanya konsep time value of money akan mendorong inflasi karena adanya praktek riba. Dengan riba selain menimbulkan inflasi, spekulasi terhadap nilai uang akan semakin tinggi yang mendorong lebih besarnya perdagangan uang dari pada barang, sehingga terjadi ketidak seimbangan antara sektor keuangan dengan sektor riil dan antara pasar barang dan pasar uang. Ketidakseimbangan inilah yang menimbulkan krisis dalam perekonomian.
Dengan sistem keuangan Islam, ketidakseimbangan pada sektor keuangan dan sektor riil dan ketidakseimbangan pasar barang dan pasar keuangan tidak akan terjadi, karena pemerintah dan otoritas keuangan bertugas untuk mengatur keseimbangan tersebut. Pemerintah dan otoritas keuangan mempunyai fungsi untuk mengatur keseimbangan, baik dalam pasar barang maupun dalam pasar uang serta keseimbanagn antara pasar barang dengan pasar uang. Menurut Soros, kesimbangan  pasar tidak mungkin akan terjadi tanpa adanya pengaturan dari otoritas, terutama di pasar finansial. Karena itu pengaturan keseimbangan merupakan tanggung jawab pemerintah dan Bank Sentral.
            Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa sistem keuangan konvensional/kapitalis yang berbasis bunga akan selalu menimbulkan krisis ekonomi yang berdampak turunnya nilai mata uang. Upaya redonominasi mata uang hanya mungkin dilakukan jika kondisi ekonomi dalam keadaan stabil, inflasi rendah dan pertumbuhan ekonomi tetap tinggi. Dengan sistim keuangan berbasis bunga redonominasi mata uang akan diikuti dengan redonominasi berikutnya sebab sistem keuangan konvensional/kapitalis yang berbasis bunga akan selalu memicu inflasi dan krisis ekonomi. Redonominasi akan berhasil bila dilakukan dalam kondisi ekonomi stabil, inflasi tidak ada dan menggunakan sistem ekonomi dan sistem keuangan yang tidak berbasis bunga yaitu sistim dan bentuk keuangan syariah.
            Agar redonominasi berhasil tidak saja dilakukan dalam kondisi ekonomi stabil tetapi juga harus dilakukan secara perlahan-lahan. Pertama ekonomi dalam kondisi stabil, kedua mulai mencetak uang baru dengan tetap mengunakan model lama tetapi dengan memasukan nilai baru (lihat contoh). Ketiga, setelah masyarakat memahami dan mengerti, dicetak uang kertas seri baru atau bentuk baru seperti coin emas atau dinar senilai 100 rupiah uang kertas Rp. 50 atau coin perak atau dirham dengan nilai Rp 50 dan seterusnya.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. PT BESTPROFIT FUTURES PONTIANAK - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger