BEST PROFIT FUTURES - Tanggal 3 Agustus 2010 Gubernur Bank Indonesia merencanakan untuk melakukan redenominasi.
Apakah yang di maksud dengan Redenominasi ?Apa yang melandasi dilakukannya Redenominasi Rupiah ?
Berikut akan kita ulas dengan sederhana mengenai Redenominasi Rupiah dan Sistem Keuangan.
Redenominasi
yaitu penyederhanaan penyebutan satuan harga dan nilai rupiah. Dasar
pemikiran pengajuan redenominasi mata uang rupiah ini adalah adanya
inflasi yang tinggi, sehingga nilai mata uang terhadap barang semakin
rendah dalam waktu singkat dan nilai nominal dalam mata uang semakin
besar. Contoh kongkrit dari rendahnya nilai mata uang akibat inflasi
yang tinggi pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1966 dimana tingkat
inflasi pada saat itu mencapai 1000 %, bahkan menurut Hal Hill (2001)
inflasi saat itu adalah 1500 %. Tingginya inflasi ini tercermin dengan
adanya penurunan nilai mata uang rupiah (shanering) dari Rp.
1000 (seribu rupiah) menjadi Rp 1 (satu rupiah), sedangkan inflasi
tertinggi didunia yang pernah terjadi adalah di Zimbagwe dengan tingkat
inflasi mencapai 2.500.000 persen.
Dengan tingginya tingkat inflasi,
maka dimasa mendatang dibutuhkan nilai mata uang yang lebih besar.
Saat ini nilai mata uang rupiah tertinggi adalah Rp. 100.000. Apabila
inflasi terus tinggi, maka pada 5 (lima) atau 10 (sepuluh) tahun lagi,
Indonesia membutuhkan mata uang pecahan di atas Rp. 100.000 mungkin Rp.
200.000 atau Rp. 500.000 dan bahkan mungkin juga Rp 1.000.000. Jika hal
itu memang terjadi maka, nilai uang terhadap barang akan semakin rendah.
Artinya untuk membeli semacam barang diperlukan uang yang banyak sekali
dan akan mempersulit sistim pencatatan akutansi keuangan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, maka
Bank Indonesia merencanakan melakukan redenominasi nilai rupiah yang
merupakan hasil kajian yang cukup lama. Jika redenominasi nilai rupiah
ini diimplementasikan mulai tahun 2013, maka redenominasi rupiah akan
rampung pada tahun 2020. Permasalahannya adalah apakah dengan
dilakukannya redenominasi nilai rupiah, untuk masa datang nilai uang
rupiah akan tetap stabil/tidak berubah lagi ?. Jawabnya belum tahu.
Tulisan ini ingin mencoba membahasnya di lihat dari penyebab turunnya
nilai mata uang terhadap barang dan sistem keuangan yang berlaku
termasuk dalam hal ini penggunaan uang kertas (fiat money) yang saat ini digunakan di negara-negara dimuka bumi dikaitkan dengan redonominasi rupiah.
2. Sistim Keuangan Konvensional dan Inflasi
Inti dari permasalahan yang menyebabkan
turunnya nilai mata uang terhadap barang adalah inflasi. Karena itu,
permasalahan pokok dari kekhawatiran Bank Indonesia terhadap nilai uang
rupiah kedepan adalah menyangkut penyebab tingginya nilai rupiah yaitu
inflasi. Pertanyaan utamanya adalah mengapa terjadi inflasi dan apa
penyebabnya?. Secara teoritis yang selama ini diketahui, ada 2 penyebab
utama inflasi itu yaitu tarikan permintaan (demand full inflation) dan desakan biaya (cost push inflation).
Terjadinya inflasi di Indonesia saat ini bukan karena tarikan
permintaan tetapi lebih banyak karena desakan biaya dan sistim keuangan
serta sistem ekonomi yang berlaku saat ini yaitu sistim kapitalis.
Kelemahan utama dari sistim kapitalis saat ini adalah menjadikan uang sebagai komoditi dan alat spekulasi
dalam perekonomian. Karena uang sebagai komoditi maka, nilai uang
tidak lagi sesuai dengan nilai riilnya. Inilah penyebab mengapa nilai
uang selalu merosot terhadap barang. Selain itu uang mempunyai fungsi
sebagai alat produksi (uang dapat menghasilkan uang) melalui bunga (interest)
yang dilakukan oleh bank. Bank merupakan mesin utama dalam sistim
ekonomi kapitalis (Dwi Condro Triono. 2008). Mesin kedua dari sistim
ekonomi kapitalis adalah pasar modal yang notabene lebih bersifat spekulatif (judi),
dan nilai saham lebih banyak ditentukan oleh opini pemilik modal. Pasar
bursa selama ini tidak memberikan kontribusi yang nyata terhadap sektor
riil, bahkan cenderung bersifat semu sehingga pertumbuhan ekonomi yang
didorong oleh pasar bursa menjadikan pertumbuhan ekonomi seperti balon (bubble economic) yang setiap saat mudah pecah/kempes.
Selain itu, sistim bunga dalam sektor
keuangan telah menimbulkan krisis ekonomi. Tingkat bunga mempunyai
hubungan dengan tingkat inflasi. Menurut teori kuantitas, kenaikan dalam
tingkat pertumbuhan uang sebesar 1 persen menyebabkan kenaikan tingkat
inflasi sebesar 1 persen, selanjutnya dari persamaan Fisher dapat
dinyatakan pula bahwa kenaikan 1 persen tingkat inflasi akan menaikkan
suku bunga nominal sebesar 1 persen. Dari fakta ini jelas bahwa suku
bunga dan inflasi mempunyai hubungan yang positif. Hubungan positif
antara suku bunga dan tingkat inflasi ditunjukkan dari data empiris
berikut ini;
Dari data empiris pada
Gambar 1 di atas terlihat bahwa tingkat suku bunga nominal dan inflasi
mempunyai hubungan yang positif. Di Negara-negara dengan tingkat inflasi
yang tinggi, maka tingkat bunga nominal cenderung tinggi pula. Dari
hasil penelitian Robert Shiler tahun 1997 (Mankiw. 2007) bahwa 77 persen
dari masyarakat yang di survey menyatakan bahwa inflasi mengganggu daya beli mereka dan membuat mereka lebih miskin.
Jika inflasi membuat orang lebih miskin dan kita ketahui bahwa inflasi
mempunyai hubungan yang positif dengan bunga, maka ini berarti bahwa “suku bunga membuat orang lebih miskin”. Dengan kata lain suku
bunga merusak daya beli dan memiskinkan orang yang meminjam uang maupun
yang tidak meminjam uang serta menurunkan tingkat kesejahteraan
masyarakat. Dari fakta ini dapat dikatakan bahwa “Inflasi = bunga” yaitu sama-sama menurunkan daya beli masyarakaat dan menjadikan masyarakat lebih miskin.
Pasar finansial menjadikan dunia ini
melengkung, sehingga kita tidak bisa melihat apa yang ada dibalik
lengkungan (kaki langit) itu. Pasar finansial selalu dipenuhi oleh
informasi yang tidak pasti dan tidak lengkap, tidak transfaran (Smick.
2008). Itulah sebabnya menurut Smick, krisis keuangan yang terjadi pada
tahun 2007 – 2008 masih merupakan krisis awal. Sepanjang abad 20, (Roy
Davies dan Glyn Davies. 1996) dalam buku mereka a history of money from ancient times to the present day,
menyatakan bahwa, telah terjadi lebih dari 20 krisis ekonomi di bumi
ini (kesemuanya merupakan krisis sektor keuangan). Ini berarti bahwa
krisis-krisis lain akan terus bermunculan dan waktu terjadinya krisis
satu ke krisis lain semakin singkat dan krisis-krisis itu menurunkan
nilai uang terhadap barang.
Financial Inballance di AS disebut-sebut bukan karena kredit macet pada subprime mortgage
tetapi disebabkan adanya perusahaan-perusahaan investasi dan bank yang
bermain atau melakukan transaksi derevatif di sektor keuangan melalui collateralized debt obligations (CDOs).
Kerugian akibat transaksi derevatif tersebutlah yang menyebabkan banyak
lembaga keuangan terutama yang bergerak dalam sekuritas mengalami
kebangkrutan. Transaksi produk derevatif sebagai alat hedging (perlindungan nilai) secara pasti menjadi alat spekulasi yang mempunyai resiko tinggi. Filosofi investasi di sekuritas yaitu high risk, higt return tapi nyatanya yang terjadi adalah high risk no return.
Lembaga keuangan AS Lehman Brothers yang
bangkrut 15 September 2008 menjadi pemicu kebangkrutan lembaga keuangan
lain di Amerika. Kasus-kasus kebangkrutan lembaga keuangan sekuritas
tidak hanya terjadi di negara maju seperti Amerika, di negara
berkembangpun mengalami hal yang serupa. Di Indonesia, kasus yang
dialami Lehman Brothers dialami pula oleh PT. Antaboga Delta Sekuritas
dan kemudian merembet pada Bank Century dan Sarijaya Sekuritas
(Infobank. April 2009).
Bukti lain menunjukkan bahwa, dengan sistem keuangan konvensional seperti saat ini, transaksi di pasar uang (financial market) lebih besar dibandingkan dengan transaksi di sektor riil. Volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation dan derivative market) dunia dalam sehari mencapai US$ 1,5 trilliun, sedangkan volume transaksi yang terjadi pada perdagangan dunia di sektor real
hanya US$ 6 trilliun setiap tahun (BI. 2009). Itu berarti bahwa dalam
setahun dikurangi hari minggu dan sabtu (96 hari) maka transasksi
keuangan di pasar uang sebesar US $ 1,5 triliun x 365 -96 = 403.5
triliun US$ per tahun sedangkan transaksi di pasar barang hanya US$ 6
triliun per tahun atau hanya 0,015 % dari transaksi pasar keuangan.
Fakta ini menunjukkan ketidak seimbangan yang besar antara transaksi
keuangan dengan transkasi barang. Ketidak seimbangan dalam sektor
keuangan dan sektor riil memunculkan bubble economics yang
selanjutnya merupakan awal dari malapetaka kehancuran ekonomi. Dari
fakta ini jelas bahwa penyebab krisis keuangan dan krisis ekonomi global
di picu oleh ketidak seimbangan antar jumlah uang dan barang serta
harga uang alias bunga (interest) yang tinggi. Krisis tahun 2007
– 2008 merupakan krisis awal (Smick. 2008), selanjutnya akan menyusul
krisis-krisis lain bila sistem keuangan yang berlaku tetap seperti saat
ini.
Bukti-bukti di atas seperti macetnya kredit subprime mortagage,
tingginya suku bunga, adanya spekulasi yang tinggi dan pasar bursa yang
bersifat seperti gelembung, sangat tingginya transaksi pasar uang
dibandingkan dengan transaksi perdagangan barang memperkuat bukti
kegagalan sistem keuangan dan sistim ekonomi kapitalisme dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan negara. Karena itu, kapitalis
bukanlah suatu sistem ekonomi yang segala-galanya. Kapitalis lebih
cenderung menimbulkan perbedaan yang makin besar antara yang kaya dengan
yang miskin serta melanggengkan kemiskinan.
.
3. Redenominasi Rupiah VS Sistem Keuangan Islam
3.1. Redenominasi Rupiah
Bukti-bukti yang telah diungkapkan di
atas, menunjukkan bahwa sistem keuangan konvensional dalam hal ini
kapitalis mempunyai resiko untuk terus menurunkan nilai mata uang
termasuk rupiah. Dengan demikian redenominasi maupun sanering
akan terus akan terjadi selama sistem keuangan yang berlaku tetap
seperti yang berlaku saat ini. Karena itu, perlu dicari sistem keuangan
yang tidak menimbulkan terjadinya sanering atau redenominasi mata uang.
Wacana Indonesia untuk melakukan
redonominasi rupiah perlu menjadi pemikiran yang mendalam. Pengalaman di
banyak negara yang sukses melakukan redonominasi mata uangnya seperti
Turki, Polandia dan Rumania karena redonominasi dilakukan pada saat
kondisi ekonomi stabil. Negara yang gagal melakukan redonominasi mata
uangnya seperti Brasil, Nigeria, Ghana dan Zimbagwe (Wulan TP. 2011),
karena dilakukan pada saat ekonomi sedang menglami guncangan. Bahkan
Zimbagwe mengalami inflasi sampai 250 juta persen. Karena itu jika
Indonesia ingin melakukan redonominasi, maka kondisi ekonomi harus
stabil, pertumbuhan ekonomi tetap terjaga dan inflasi terkendali dan
rendah.
Melaksanakan redonominasi rupiah pada
tahun 2011 ini merupakan langkah yang tidak tepat. Hal ini disebabkan
bahwa pada tahun 2010 lalu dan awal tahun 2011 ini inflasi mengalami
peningkatan dan diperkirakan ancaman inflasi terus akan meningkat.
Peningkatan ancaman inflasi disebabkan karena terjadi krisis pangan,
naiknya harga minyak dunia. Selain itu dengan adanya rencana menaikkan
gaji para pejabat negara, jelas akan memicu inflasi yang lebih tinggi.
Untuk itu melaksanakan redonominasi
rupiah perlu menunggu waktu yang tepat dan persiapan yang matang. Selain
itu, apabila redonominasi dilakukan maka sistim keuangan perlu pula
dilakukan perubahan yang mendasar atau penyesuaian. Alternatif yang
mungkin adalah menggunakan sistem keuangan Islam. Mengapa kita harus
menggunakan sistem keuangan Islam, karena sistem keuangan Islam secara
faktual dapat mengeleminir kemungkinan terjadinya redenominasi, sanering, spekulasi dan munculnya bubble economic.
3.2. Sistem Keuangan Islam
Secara garis besar ada tiga perbedaan
yang mendasar antara sistem keuangan Islam dengan sistem keuangan
konvensional (Ascarya, 2007). Perbedaan itu seperti terlihat pada Tabel 1
yaitu meliputi :
- Dalam sistim keuangan Islam uang yang digunakan adalah bersifat full bodied/fully backed money.
- 100 persen menggunakan reserve banking system,
- Menggunakan prinsip bagi hasil.
Sedangkan dalam sistem keuangan konvensional dalam penerapannya pertama, uang yang digunakan adalah uang kertas (fiat money), kedua menggunakan fractional banking system dan ketiga, menggunakan prinsip bunga (interest).
1). Uang kertas (fiat money) dan Uang Emas.
Uang kertas yang digunakan dalam
sistim keuangan konvensional mempunyai kelemahan. Kelemahan utama yaitu
nilai nominal uang dengan nilai intrinsiknya sangat jauh berbeda,
sehingga memicu upaya orang untuk memalsukannya. Kelemahan lain yaitu
apabila uang kertas tersebut terbakar maka habislah uang tersebut tidak
meninggalkan bekas lagi, dan ketiga masa berlaku uang kertas singkat
serta mudah rusak. Lain halnya dengan uang emas (logam) yang digunakan
dalam Islam pada zaman Rasulullah seperti Dinar dan Dirham, nilai
intrinsiknya hampir sama dengan nilai nominalnya. Uang emas atau uang
logam tidak mudah rusak/habis meskipun terbakar. Pemilik uang tidak akan
menjadi miskin walaupun uang milik terbakar. Upaya pemalsuan uang logam
tidak akan berarti, karena nilai nominal dan nilai intrinsiknya hampir
sama, karena itu orang akan mengalami kerugian apabila mereka
memalsukannya.
2). Perbedaan Prinsip Bunga dan Prinsip Bagi Hasil.
- a. Sistem Bunga (riba)
Sistem keuangan yang menggunakan prinsip
bunga, maka uang dapat menciptakaan uang melalui bunga. Karena itu,
pemilik modal yang mempunyai modal akan semakin kaya dan selanjut akan
menimbulkan konsentarsi uang pada pemilik modal.
Pemilik modal selalu akan meningkatkan
kekayaannya (uang) melalui aktivitas yang lebih mudah yaitu dipasar
finansial. Karena itu sektor finansial akan semakin tinggi, sebaliknya
sektor riil akan semakin ditinggalkan sehingga muncul inflasi dan pada
gilirannya menghambat kemajuan ekonomi.
- b. Prinsip Bagi Hasil
Dengan prinsip bagi hasil, maka orang
yang kaya akan memberikan sebagian kekayaanya pada orang yang belum
berhasil.Mekanismenya yaitu pemilik modal memberikan pinjaman modal pada
yang membutuhkan. Peminjam modal mengusahakan modal yang dipinjamkan
dan mendapatkaan keuntungan. Dari keuntungan tersebut sebagian diberikan
pada pemilik modal dan sebagian lagi menjadi milik peminjam sesuai
dengan kesepakatan dengan demikian terjadi distribusi kekayaan dan
pendapatan. Dengan adanya distribusi kekayaan dan pendapatan akan
terjadi peningkatan permintaan yang berakibat pada peningkatan sektor
riil dan selanjutnya meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Apabila terjadi kerugian, maka pemilik modal maupun peminjam tidak
akan mendapat apa-apa namun peminjam harus mengembalikan modal yang
dipinjamnya. Lain halnya dengan sistim bunga, peminjam harus tetap
membayar tambahan (bunga atau riba) meskipun peminjam tidak mendapat
keuntungan dari pinjamannya serta mengembalikan pinjaman awalnya. Dengen
demikian akan terjadi peningkatan kekayaan bagi pemilik modal sedangkan
peminjam/Debitur akan semakin berat untuk membayar bunga dan utang
pokoknya.
Selanjutnya, sistem keuangan Islam tidak mengenal konsep time value of money seperti dalam sistem keuangan konvensional. Dalam sistem keuangan Islam yang dikenal adalah economic value of time. Artinya yang berharga itu adalah waktu bukan uang. Dengan adanya konsep time value of money
akan mendorong inflasi karena adanya praktek riba. Dengan riba selain
menimbulkan inflasi, spekulasi terhadap nilai uang akan semakin tinggi
yang mendorong lebih besarnya perdagangan uang dari pada barang,
sehingga terjadi ketidak seimbangan antara sektor keuangan dengan sektor
riil dan antara pasar barang dan pasar uang. Ketidakseimbangan inilah
yang menimbulkan krisis dalam perekonomian.
Dengan sistem keuangan Islam,
ketidakseimbangan pada sektor keuangan dan sektor riil dan
ketidakseimbangan pasar barang dan pasar keuangan tidak akan terjadi,
karena pemerintah dan otoritas keuangan bertugas untuk mengatur
keseimbangan tersebut. Pemerintah dan otoritas keuangan mempunyai fungsi
untuk mengatur keseimbangan, baik dalam pasar barang maupun dalam pasar
uang serta keseimbanagn antara pasar barang dengan pasar uang. Menurut
Soros, kesimbangan pasar tidak mungkin akan terjadi tanpa adanya pengaturan dari otoritas, terutama di pasar finansial. Karena itu pengaturan keseimbangan merupakan tanggung jawab pemerintah dan Bank Sentral.
Berdasarkan penjelasan yang
telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa sistem
keuangan konvensional/kapitalis yang berbasis bunga akan selalu
menimbulkan krisis ekonomi yang berdampak turunnya nilai mata uang.
Upaya redonominasi mata uang hanya mungkin dilakukan jika kondisi
ekonomi dalam keadaan stabil, inflasi rendah dan pertumbuhan ekonomi
tetap tinggi. Dengan sistim keuangan berbasis bunga redonominasi mata
uang akan diikuti dengan redonominasi berikutnya sebab sistem keuangan
konvensional/kapitalis yang berbasis bunga akan selalu memicu inflasi
dan krisis ekonomi. Redonominasi akan berhasil bila dilakukan dalam
kondisi ekonomi stabil, inflasi tidak ada dan menggunakan sistem ekonomi
dan sistem keuangan yang tidak berbasis bunga yaitu sistim dan bentuk keuangan syariah.
Agar redonominasi berhasil
tidak saja dilakukan dalam kondisi ekonomi stabil tetapi juga harus
dilakukan secara perlahan-lahan. Pertama ekonomi dalam kondisi stabil, kedua mulai mencetak uang baru dengan tetap mengunakan model lama tetapi dengan memasukan nilai baru (lihat contoh). Ketiga,
setelah masyarakat memahami dan mengerti, dicetak uang kertas seri baru
atau bentuk baru seperti coin emas atau dinar senilai 100 rupiah uang
kertas Rp. 50 atau coin perak atau dirham dengan nilai Rp 50 dan
seterusnya.
Posting Komentar