Peran “Culture Capital” dalam meningkatkan Corporate Culture

Jumat, 30 Mei 20140 komentar

BEST PROFIT FUTURES - Menurut Rhenald, suatu organisasi bisa bertahan panjang bukan dibentuk oleh manajemen yang hebat, tidak juga oleh orang-orang yang hebat, ataupun sistem, melainkan dibangun oleh kekuatan nilai-nilai (values). Corporate culture selalu menekankan bottom up, menggali segala sesuatu mulai dari bawah, bukan dari atas ke bawah. Dengan demikian, semua orang harus ditanya apa yang sebenarnya mereka inginkan. Corporate culture itu seperti bongkahan es, yang tampak hanyalah yang di atas berupa simbol-simbol seperti logo, cara berpakaian. Padahal yang harus dibangun adalah yang di bawah, yang tidak kelihatan, yaitu nilai-nilai baru. Manusia itu berkomunikasi secara simbolik, simbol sebagai identitas.

Apa peran “Culture Capital” dalam meningkatkan Corporate Culture?

Dikutip dari buku karangan bapak Dr. Djokosantoso Moeljono, juga dari tulisan di Kompas yang membahas tentang “Culture Capital” .Perusahaan komersial pada umumnya mempunyai tujuan jangka panjang yang dilandasi oleh motif untuk menghasilkan nilai tambah bagi stakeholders. Untuk itu, perusahaan membutuhkan 4 (empat) pilar utama untuk mendukung, yaitu: 1) SDM yang bermutu, 2) IT yang terpadu, 3) Strategi yang tepat, 4) logistik yang memadai. Dalam pengelolaaan operasional perusahaan jangka panjang, peran SDM mempunyai kedudukan sentral yang strategis, karena: “asset make possibility, people make it happen.”

Penelitian menunjukkan terdapat 4 (empat) faktor yang menentukan perilaku manajemen suatu perusahaan, yaitu:

1) Budaya organisasi,
2) Struktur, sistem, rencana kebijakan formal,
3) Kepemimpinan,
4) Lingkungan yang teratur dan bersaing.

Budaya organisasi berada di tempat pertama sebagai faktor yang mengkondisikan faktor-faktor lain, karena:

• Budaya organisasi dapat mempunyai dampak yang berarti terhadap kinerja ekonomi jangka panjang.
• Budaya organisasi mungkin akan menjadi suatu faktor yang bahkan lebih penting lagi dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan perusahaan dalam dasa warsa yang akan datang.

Budaya organisasi pada dasarnya merefleksikan metodologi perusahaan itu sendiri. Metodologi itu bisa muncul dari seseorang yang berada pada posisi tertinggi organisasi untuk membangun kebersamaan (Graves 1986, dalam Moeljono 2005).

Budaya dan Budaya Organisasi
Budaya telah menjadi konsep penting dalam memahami masyarakat dan kelompok manusia untuk waktu yang lama, Stoner dkk (dalam Moeljono, 2005) memberikan arti budaya sebagai gabungan kompleks asumsi, tingkah laku, cerita, mitos, metafora dan berbagai ide lain yang menjadi satu untuk menentukan apa arti menjadi anggota masyarakat tertentu. Sedang budaya organisasi, atau sering juga disebut sebagai budaya kerja, merupakan nilai yang disebar luaskan dalam organisasi dan diacu sebagai filosofi kerja karyawan. Menurut Schein (1985), budaya organisasi mengacu suatu sistem makna bersama, dianut oleh anggota-anggota nya, yang membedakan organisasi itu terhadap organisasi yang lain (dalam Moeljono, 2005).

Di sisi lain Robbins (1990), menyatkan bahwa budaya organisasi sering diartikan sebagai filosofi dasar yang memberi arahan bagi kebijakan organisasi dalam pengelolaan karyawan dan nasabah. Robbins juga menyatakan, bahwa sebuah sistem pemahaman bersama dibentuk oleh para warganya, sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. Kreitner dan Kinichi (1992), menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan perekat organisasi, yang mengikat anggota organisasi melalui nilai-nilai yang ditaati, peralatan simbolik, dan cita-cita sosial yang ingin dicapai. Sedangkan Matsumoto (1996) menyatakan, budaya organisasi sebagai seperangkat sikap nilai-ilai, keyakinan, dan perilaku yang dipegang oleh sekelompok orang dan dikomunikasikan dari generasi ke generasi berikutnya.

Fungsi dan Dinamika Budaya Organisasi

Fungsi Budaya Organisasi menurut Robbins (1991):
• Budaya organisasi mempunyai peran pembeda
• Budaya organisasi membawa suatu rasa identitas bagi anggota organisasi
• Mempermudah timbulnya pertumbuhan komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual
• Meningkatkan kemantapan sistem sosial

Dalam hubungannya dengan segi sosial, budaya berfungsi sebagai perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dilakukan dan dikatakan oleh para karyawan. Akhirnya, budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna, dan kendali, yang membantu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan (Gordon, 1991).

Menurut Jusi (dalam Moeljono,2005), budaya yng kuat didukung oleh faktor-faktor: leadership, sense of direction, climate, positive teamworks, value add systems, enabling structure, appropriate competences, and developed individual. Diantara faktor pendukung tersebut, menurut pengalaman, faktor leadership sangat menonjol, dalam artian bahwa komitmen, kesungguhan tekad dari pimpinan tertutama pimpinan puncak organisasi merupakan faktor utama yang sangat mendukung terlaksananya suatu budaya peusahaan.
7-S McKinsey Framework, menunjukkan tujuh variabel yang berpengaruh terhadap kesuksesan suatu organisasi, yaitu:

• Strategi dan Struktur (hardware of organization)
• Style (gaya) , Staf (karyawan), Skill (kemampuan)
• Dan Shared Value (budaya organisasi) yang merupakan software of organization.

Dalam sebuah budaya organisasi yang kuat, seperangkat nilai dan metode menjalankan bisnis perusahaan yang relatif konsisten, memudahkan para karyawan baru dapat mengadopsi nilai-nilai ini dengan sangat cepat.

Apa yang dimaksud dengan budaya organisasi?
Moeljono (2005), mendefinisikan budaya organisasi sebagai sistem nilai-nilai yang diyakini semua anggota organisasi dan yang dipelajari, diterapkan, serta dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sebagai sistem perekat, dan dapat dijadikan acuan berperilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan.

Budaya organisasi dimanakah yang dapat memberikan kontribusi?
• Fungsi ke-1: Budaya organisasi memberikan identitas-identitas yang khas terhadap anggota organisasi. Identitas ini membuat berbeda dengan anggota organisasi yang lain, sekaligus memberi pola identifikasi pada orang dimanapun berada.
• Fungsi ke-2: Budaya organisasi merekatkan anggota organisasi satu sama lain, kepada institusi dan sistem organisasi. Perekatan ini membangun trust dari organisasi.
• Fungsi ke-3: Budaya organisasi memberikan standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh karyawan. Budaya organisasi merupakan nilai-nilai yang menentukan perilaku dari individu manusia dalam organisasi.

Apa yang dimaksud dengan pengejawantahan Culture Capital?

Disini budaya telah menjadi sebuah shared value yang kuat, yang ditunjukkan dalam setiap perilaku masyarakat yang tergabung dalam organisasi tersebut. Kita bisa mengambil contoh, masyarakat Bali. Yang membuat orang luar terkesan pada masyarakat Bali adalah, bagaimana mereka melakukan ritual dalam sembahyang, seni, cara berpakaian, berbahasa serta bersikap dan berperilaku, yang keramahtamahan nya telah diakui oleh semua turis, yang pernah datang ke Bali. Pada saat merasa budayanya terancam, para pecalang atau polisi adat akan berperan meluruskan kebiasaan, membela kepentingan adat, bahkan meyakinkan agar kaum muda tak terpengaruh akan derasnya budaya luar yang masuk. Dalam hal ini, masyarakat Bali, membuktikan kekuatan budayanya, yang kemudian telah menjadi kekuatan modal atau culture capital yang bisa dijual dan merupakan compettive advantage. Budaya yang telah kuat tersebut tetap harus dikelola, dikembangkan secara berkesinambungan sehingga menjadi modal yang kuat.

Di sebuah perusahaan, selain keramahtamahan para petugas frontliners, perusahaan menerapkan budaya cara berpakaian dan melayani pelanggan. Dari penelitian menunjukkan, pelanggan tak segan mengeluarkan biaya lebih besar untuk service yang lebih prima, terutama bagi perusahaan yang mempunyai karyawan yang ramah menghadapi pelanggan. Sering kita lupa, bahwa hubungan antara manusia, keyakinan dan persepsi sebagai aspek budaya, kerap belum diangkat ke permukaan. Pentingnya “State of Mind” dalam budaya, baru diterjemahkan dalam produk-produk bahasa, artefak, buku dan lain-lain. Jadi, budaya Indonesia bukan hanya sekedar kain batik, kain songket, namun juga harus melingkupi sikap dan perilaku yang dapat dijual. Budaya perusahaan bukan sekadar tergambar pada logo, interior, slogan, ritual briefing, tetapi juga berasal dari keyakinan akan makna dan pentingnya nilai, dibalik sikap dan perilaku manusianya.

Yang perlu diperkuat adalah bagaimana respon kita terhadap suatu situasi, mempersepsikan suatu kejadian, berkomunikasi dalam setiap situasi, senyum yang dipasang sesuai dengan jiwa. Kebiasaan ini, yang positif, harus terus dikembangkan menjadi kekuatan budaya, dan ditularkan ke lingkungan sekitar. Keramahtamahan masyarakat Indonesia harus bisa ditunjukkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari, sehingga yang dikenal di dunia tak hanya masyarakat Bali, namun juga semua masyarakat di seluruh Indonesia dikenal keramahtamahannya, disiplin, serta berperilaku sopan serta ramah, karena alam Indonesia sungguh indah, sehingga dengan potensi tersebut, banyak sekali competitive advantage Indonesia yang bisa menarik turis.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. PT BESTPROFIT FUTURES PONTIANAK - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger