BEST PROFIT FUTURES - Resiko Hukum dan Resiko Reputasi Sehubungan dengan Semakin Maraknya Financial Crime. Runtuhnya
Bank Century dimana pemilik Bank bisa mengalihkan uang nasabah keluar
negeri dan tertipunya nasabah Bank Century dengan penjualan Discretional Fund Antaboga, membuka mata masyarakat tentang sudah seriusnya “Financial Crime”
(kejahatan di bidang keuangan) di Indonesia. Kejahatan ini tidak saja
berakibat merugikan sekelompok individual Nasabah Bank Century, tetapi
dapat meruntuhkan kepercayaan kepada bank-bank lainnya, yang selanjutnya
bisa mengacaubalaukan perekonomian secara keseluruhan. Kejahatan
lainnya yang sudah terjadi berkenaan dengan mengambil uang nasabah
melalui ATM bank yang bersangkutan, pemalsuan kartu kredit, undian
bohong, dan hipnotisme.
Financial Crime atau kejahatan di bidang keuangan telah berkembang dari bentuknya yang paling sederhana, bermula dari kejahatan narkotic kemudian berlanjut kepada pencucian uang (money laundring). Sekarang ini berkembang menjadi cyber crime, intelectual property crime, corporate crime, sampai pengumpulan dana untuk tujuan teror. Globalisasi dan kemajuan teknologi telah menjadikan “Financial Crime”
menjadi kejahatan transnasional, yang tidak mengenal waktu dan
batas-batas negara. Negara-negara tidak bisa selain harus bekerja sama,
karena “Financial Crime” ini tidak dalam lingkup domestik saja, tetapi seperti dikatakan tadi, telah melewati batas-batas negara.
Kerjasama Internasional
Intergovernment Organization telah memainkan perananan penting dalam regime penegakan keuangan internasional. Lahirnya Konvensi Vienna 1988 Tentang AntiTraffiking in Illegal Narcotic and Psychotropic Substance dan UN Convention on Transnational Organized Crime di
Palerino, Italia tahun 2000 adalah sebagian usaha negara-negara
memerangi “Financial Crime”. Konvensi-konvensi ini diikuti oleh “mutual
legal assistance”, extradition, law enforcement corporation, technical assistance dan training.[1]
Bank-bank di dalam negeri tidak dapat menghindar dari kerjasama internasional ini untuk menjaga reputasinya. Financial Action Task Force (FATF)
suatu group yang dibentuk oleh Group of Seven (G-7) tahun 1989 di
Paris, sekarang sudah beranggotakan 31 negara dan beberapa organisasi
internasional, tahun 1999 mempublikasikan rekomendasinya, antara lain:
- Recomendation to Strengthen National Legal System;
- Recomendation to Strengthen Customer Due Deligent Reporting of Suspicious Transactions, Regulation and Supervision;
- Recomendation to Strengthen International and Other Measures; and
- Recomendation to Strengthen International Cooperation and Mutual Assistance Measures.
Bukti
mengindikasikan mayoritas negara telah mengambil langkah-langkah untuk
implementasi regime hukum internasional baru di dalam jurisdiksi
nasional masing-masing.[2]
Money Laundring
Pencegahan money laundring keluar negeri adalah kombinasi pengaturan dan politik.[3] Money Laundring tidak
selalu dalam bentuk internasional, dalam banyak kasus semata-mata
pencucian uang domestik. Namun sesudah “dicuci”, uang tersebut mengalir
keluar negeri.[4] Amerika Serikat (AS) setelah terjadinya peristiwa 11 September 2001 telah meningkatkan pengaturan money laundring ini. The Bank Secrecy Act (“BSA”) juga dikenal sebagai The Currency and Foreign Transaction Reporting Act, tetap menjadi dasar anti money laundring di AS. BSA memperbolehkan usaha anti money laundring menelusuri aliran mata uang dan instrument keuangan lainnya melalui institusi keuangang Amerika. Dengan Patriot Act, pemerintah AS memperluas kebijakan anti money laundring dengan[5] :
- Memperluas kebijaksanaan anti money laundring tidak terbatas kepada bank saja, mencakup institusi keuangan lainnya.
- Melarang bank melakukan transaksi dengan bank bayangan luar negeri.
- Menambah tanggung jawab bank terhadap “Customer Due Deligent”.
- Memperluas institusi keuangan yang harus menyampaikan laporan transaksi yang mencurigakan.
- Memperberat hukuman pidana dan perdata dalam kejahatan pencucian uang.
Corporate Crime
Masalah penghindaran pajak dalam perusahaan dan pemutarbalikan pembukuan merupakan financila crime juga.
Di Amerika Serikat kasus Enron Corporation tidak yang pertama kali.
Skandal perusahaan sebelumnya adalah, antara lain Cendant, Adelphia,
Dynergy, Tyco, Rite Aid, Im Clone, dan World Com. Di Indonesia corporate crime inipun sudah ada.
Terorisme
Mencegah
mengalirnya keuangan untuk teroris adalah langkah yang hampir tidak
mungkin. Uang datang dari sumber yang sah seperti donasi sampai kepada
hasil kejahatan seperti penyelundupan, perampokan, dan penjualan
narkotik.[6] Diakui lebih sukar menelusuri keuangan teroris dari pada money laundring yang biasa. Money laundring bermula
pada uang haram, “dicuci”, dan kemudian kelihatan menjadi uang bersih.
Terorist sebaliknya, memulai pembiayaan dari uang bersih seperti
sumbangan sukarela untuk kaum miskin, tetapi dipergunakan untuk tujuan
yang salah.[7]
Peranan Penasehat Hukum
Hampir semua tanpa kecuali, klien datang ke penasehat hukum (lawyer) dalam
usaha untuk menentukan haknya dan aspek hukum dari peraturan yang
rumit, untuk menghindarkan pelanggaran hukum. Namun, di Amerika Serikat
penasehat hukum diwajibkan membuka hubungan kerahasiaan antara lawyer dan
kliennya kepada pihak ketiga, kalau terjadi perbuatan melanggar hukum
oleh pejabat-pejabat perusahaan, bila ia yakin hal itu akan menyebabkan
kerugian keuangan kepada perusahaan atau investor.[8] Namun demikian tidak jarang penasehat hukum didakwa ikut di dalam corporate crime. Antara tahun 1993 dan 2002, dilaporkan ada 56 Law Firm dan 59 pengacara individu terlibat dalam Investment Fraud. Dua puluh sembilan Law Firm ditutup oleh pihak yang berwajib dan empat lainnya menutup kantor mereka secara sukarela.[9]
Mass Media Cetak dan Elektronik
Mass media juga memegang kunci mengungkapkan “Financial Crime”.Masyarakat
terkejut sebagian dari tokoh-tokoh politik disangka menerima suap,
terlibatdalam perkara LC, korupsi dan sebagainya. Di samping menjadikan
berita, kasus-kasusbisa menjadi semacam “infotainment” ketika individu
dan corporate celebrities dalamkesulitan.[10]
Penutup
Sudah tiba waktunya untuk memperkuat biro hukum di dunia perbankan. Biro hukum ini perlu dibantu oleh independence lawyer, sehingga
putusan mereka tidak bias dalam arti pro saja kepada perbuatan direksi
yang sebagian adalah pemilik bank sendiri. Kepatuhan kepada peraturan
perbankan, anti money laundring, dan anti korupsi perlu diperketat untuk menjaga reputasi bank itu sendiri.
Diundangkannya
Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuagan Negara (UU No. 17 tahun
2003 tentang Keuangan Negara). Menjadi awal Indonesia memiliki
peraturan sendiri terkait keuangan negara. Namun dengan keadaan saat ini
yang begitu maraknya terjadi permasalahan keuangan negara. Dibutuhkan
pengaturan yang lebih baik lagi agar bisa menjangkau setiap pelaku dari “Financial Crime”.
Mulai dari kasus Bank Century hingga banyaknya kasus korupsi yang
“bebas merdeka” memasuknya uang negara ke dompet pribadi oknum pejabat /
staf pemerintahan. Bagian perpajakan menjadi lahan basah masuknya uang
negara kedalam dompet-dompet koruptor.
Dalam hal
ini yang masuk dalam ruang lingkup keuangan negara adalah semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu
baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Sebagaimana
tertuang dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara.
Dewan
Perwakilan Rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat untuk menjadi
wakilnya dalam pemerintahan kini sudah sulit untuk dipercayai lagi.
Setiap janjinya demi mensejahterakan rakyat ketika kampanye hanyalah
sebatas janji dan wacana semata. Justru oknum “wakil rakyat” tersebut
menjadi koruptor yang menikmati uang rakyat. Asas kepercayaan sudah
tidak bisa diterapkan lagi dalam controling lalu lintas
keuangan negara. Pengawasan keuangan negara sudah menjadi sorotan. Media
sudah membuka mata masyarakat terkait kasus-kasus korupsi pada berbagai
instansi pemerintah. Keterbukaan informasi terutama terkait keuangan
negara sudah sulit untuk didapatkan. Transparansi menjadi salah satu
kebutuhan yang sulit untuk dipenuhi. Pemerintah lebih banyak
berkemampuan berbicara tanpa mampu berbuat apa-apa. Noting action talking only (Nato).
Selain
Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi diperlukan peraturan-peraturan lainnya terkait keuangan negara.
Peraturan yang mampu untuk meminimalisir bahkan mampu menghilangkan
korupsi dari bumi Indonesia. Sangat perlu pembaharuan setiap peraturan
yang sudah ada dan juga membuat peraturan baru yang mengontrol penuh
keuangan negara. Menjadi bagian penting yang tidak bisa dipisahkan
adalah memberikan ruang besar dan bebas merdeka kepada masyarakat untuk
mengawasi keluar masuknya setiap keuangan negara. Hal cenderung akan
dipaksakan realisasinya karena celah sedikit saja sudah menjadi ruang
besar raibnya uang negara kedompet koruptor.
Financial Crime
(kejahatan keuangan negara) perlu difokuskan pada kasus korupsi yang
marak terjadi saat ini. Namun perlu menjadi perhatian bahwa itu bukanlah
satu-satunya masalah dalam keuangan negara. Administrasi yang buruk, money laundring, corporate crime, terorisme (dana untuk melakukan tindakan teror), penipuan undian berhadiah, cyber crime (pencurian
uang digital melalui dunia maya), pembobolan ATM, dan kasus-kasus
lainnya. Melihat kasus-kasus tersebut maka perlu perhatian yang khusus
terkait pengaturan keuangan negara. Karena pada dasarnya hukum haruslah
berkembang mengikuti keadaan masyarakat. Apabila keadaan di masyarakat
sudah tidak mampu lagi diakomodir dengan peraturan yang ada maka perlu
reformasi peraturan. Hukum tidak akan bisa sama dalam lintas waktu meski
dalam lokasi yang sama. Kondisi masyarakat akan selalu berkembang
seiring dengan peradaban manusia.
Asas
legalitas menjadi pedang bermata dua atas hukum Indonesia saat ini.
Segala sesuatu bisa dikenakakan hukum apabila sudah diatur dalam bentuk
sebuah regulasi. Namun apabila belum maka tidak akan bisa disentuh oleh
hukum. Kelemahan yang ada saat ini adalah legislatif Indonesia cenderung
hanya akan mengatur sesuatu apabila sudah terlanjur merugikan atau
merusak. Belum mampu membaca keadaan melalui langkah preventif membuat
suatu aturan yang di masa depan akan berpengaruh baik demi penegakan
hukum di Indonesia (ius constituendum). Hukum postif saat ini
belum mampu menjawab setiap permasalahan yang ada. Maka solusi yang
dapat diberikan saat ini adalah memaksimalkan ketentuan hukum yang ada
untuk mengatasi masalah keuangan negara dan melakukan pembaharuan
terhadap pengaturan keuangan negara. Demi mengembalikan kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah dan mekanisme pengawasan yang
transparantif, jujur, dan bisa dipercayai.
Posting Komentar