Bestprofit Futures - Si Gotong Royong
"Berat sama dipikul, Ringan sama di jinjing"
Gotong royong adalah intisari dari pancasila, karena dalam goyong royong terdapat keabadian, yaitu dinamika yang konstruktif.
Setelah melalui proses persidangan yang dinamis selama tiga hari, akhirnya seluruh peserta sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggotakan 60 orang tersebut menyepakati Pancasila yang digagas oleh Ir. Soekarno sebagai sebuah Dasar Negara pada tanggal 1 Juni 1945. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Bestprofit Futures - Indonesia (BPUPKI) yang meyepakati bahwa Pancasila adalah sebuah dasar dari berdirinya Negara Indonesia, 77 hari kemudian, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dan mendirikan sebuah negara merdeka yang sekarang kita sebut dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Satu hari pasca revolusi 17 Agustus 1945, yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945 redaksional sila persila dalam pancasila didewasakan menjadi:
Gotong royong adalah intisari dari pancasila, karena dalam goyong royong terdapat keabadian, yaitu dinamika yang konstruktif.
Setelah melalui proses persidangan yang dinamis selama tiga hari, akhirnya seluruh peserta sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggotakan 60 orang tersebut menyepakati Pancasila yang digagas oleh Ir. Soekarno sebagai sebuah Dasar Negara pada tanggal 1 Juni 1945. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Bestprofit Futures - Indonesia (BPUPKI) yang meyepakati bahwa Pancasila adalah sebuah dasar dari berdirinya Negara Indonesia, 77 hari kemudian, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dan mendirikan sebuah negara merdeka yang sekarang kita sebut dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Satu hari pasca revolusi 17 Agustus 1945, yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945 redaksional sila persila dalam pancasila didewasakan menjadi:
- Ketuhanan Yang Maha Esa
- Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
- Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Bestprofit Futures - Penduduk di wilayah Nusantara memiliki karakter
yang khas sebagai bangsa, berupa rasa kekeluargaan dan gotong-royong.
Dengan dua sikap inilah kesejahteraan sosial diwujudkan. Saling membantu
untuk tujuan bersama. Sayangnya lambat laun, gotong royong dan
kekeluargaan mulai luntur, bukan hanya diperkotaan tapi menjadi gejala
nasional. Bagaimana membangkitkannya?
Menjaga Si Gotong Royong Agar Tak Pergi
Menjaga Si Gotong Royong Agar Tak Pergi
Bestprofit Futures - TAK DIRAGUKAN LAGI, gotong royong adalah kata yang otentik dari bangsa Indonesia. Bahkan berbagai suku di Indonesia memiliki sebutan-sebuan tersendiri, meski maknanya sama. Istilah ini didengar dunia, saat Bung Karno menggagas Pancasila dalam rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI pada 1 Juni 1945.
Dengan bahasa yang meledak-ledak si Bung berkata lagi, “Barang kali ada saudara-saudara yang tidak suka dengan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 (tiga) saja”. Tiga ini adalah “Sosio-Nasionalisme, Sosio Demokrasi dan Ketuhanan “atau disebutnya” Tri-Sila” saja; “Tetapi apabila ada yang tidak senang kepada Tri-Sila ini. Baiklah saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi “satu”. Yang tiga diperas menjadi satu, maka dapatlah menjadi satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotong royong,” kata si Bung.
Bestprofit Futures - Gotong royong bagi bangsa Indonesia adalah semacam “agama”. M Nasroen (1907-1968) Guru Besar Filsafat UI, menyebut gotong royong adalah filsafat Indonesia. Dia mengartikan gotong royong yang disebutkan Bung Karno adalah bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. M. Nasroen menempatkan gotong royong bersama dengan musyawarah, pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, dan kekeluargaan, sebagai dasar filsafat Indonesia.
“Kalaupun Bung Karno merumuskan inti Pancasila adalah gotong royong, maka gotong royong adalah dasar dari Republik Indonesia,” kata Amri Marzali, Antropolog dari Universitas Indonesia. Amri menuturkan dengan mengutip Koentjaraningrat, bahwa gotong royong dinilai tinggi itu berasal dari petani dalam budaya masyarakat agraris. “Gotong royong merupakan sistem pengerahan tenaga di luar kalangan keluarga, untuk mengisi kekuarangan tenaga pada masa-masa sibuk, bercocok tanam,” imbuh Amri.
Bestprofit Futures - Di banyak tempat di Jawa, ini disebut sebagai sambatan atau gentosan. Koentjaraningrat – seperti dalam kutipan Amri – gotong royong yang dilakukan untuk pekerjaan-pekerjaan kecil di sekitar rumah dan pekarangan disebut guyuban. Disebut njurug untuk kegiatan pesta dan selamatan, atau tetulung layat untuk jenis kegiatan yang berhubungan dengan kemalangan dan bencana. Semuanya itu disebut gotong royong atau tolong menolong. Begitu kata Koentjaraningrat.
Satu lagi jenis gotong royong yang akrab di keseharian bangsa Indonesia, yang dinamakan kerja bakti. Konsep ini adalah pengerahan tenaga tanpa bayaran untuk menyelesaikan suatu proyek yang bermanfaat untuk umum, atau berguna untuk pemerintah. Di bebarapa tempat di nusantara, kerja bakti dinamai krigan, gugur gunung, rodi, atau kompenian.
Bestprofit Futures - Kerja bakti ini terbagi dalam dua jenis; kerja bakti untuk proyek yang tumbuh dari inisiatif atau swadaya para warga sendiri atau yang dipaksakan dari atas. “Gotong royong dan tolong menolong adalah sesuatu yang berbeda. Gotong royong untuk kepentingan umum, sementara tolong menolong bersifat individu,” papar Amri.
Jika salah seorang tak mengikuti kegiatan gotong royong sebagaimana yang diinginkan sebuah masyarakat. Tidak ada satupun orang yang merasa dirugikan dan menuntut sesuatu dari yang bersangkutan. Di dalam gotong royong yang dituntut adalah komitmen seseorang terhadap masyarakatnya. Individu, dalam gotong royong, dituntut memiliki semangat menjatikan diri dengan kelompok dan semangat solidaritas sebagai anggota kelompok.
Walhasil, seseorang yang tidak mengikuti kewajiban gotong royong, sementara yang lain mengikutinya, dapat dipandang sebagai licik, tidak punya rasa kebersamaan, mau enak sendiri, dan hanya mau menikmati hasil kerja orang lain.
Kekeluargaan dan Gotong Royong
Selain gotong royong, kekeluargaan adalah nilai budaya orisinil nusantara. Saking pentingnya kekeluargaan, maka konsep ini dimasukkan ke dalam pasal 33 UUD 1945, yang mengatur pengelolaan ekonomi untuk kesejahteraan sosial.
Artinya, pembangunan ekonomi nasional haruslah bermuara pada peningkatan kesejahteraan sosial. “Peningkatan kesejahteraan sosial merupakan ujian untuk keberhasilan pembangunan, bukan semata-mata per-tumbuhan ekonomi apalagi kemegahan pembangunan fisik,” kata Sri Edi Swasono, Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia.
Bestprofit Futures - Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal yang mulia, pasal yang mengutamakan kepentingan bersama masyarakat, tanpa mengabaikan kepentingan individu orang-perorang. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal untuk mengatasi ketimpangan ekonomi. Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 menegaskan, bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”.
Sri menggarisbawahi perkataan disusun artinya “direstruktur”. Seorang strukturalis pasti mengerti arti “disusun” dalam konteks restrukturisasi ekonomi, memgubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, menghilangkan subordinasi ekonomi dan menggantinya dengan demokrasi ekonomi.
“Mari kita baca Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 “… Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajad hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat banyak ditindasinya,” ujar Sri.
Bukankah sudah diprediksi oleh UUD 1945 bahwa orang-orang yang berkuasa akan menyalahgunakan kekuasaan, akan habis-habisan ber-KKN karena melalaikan asas kekeluargaan. Bukankah terjadinya ketidakadilan sosial-ekonomi mass poverty, impoverishmen dan disempowerment terhadap rakyat karena tidak hidupnya asas kekeluargaan atau brotherhood di antara kita? Dalam kebersamaan dan asas kekeluargaan, keadilan sosial-ekonomi implisit di dalamnya. Koperasi menjadi cermin bening perekonomian yang dikelola secara kekeluargaan, yang berarti juga gotong royong dalam perekonomian nasional.
Meski begitu kekeluargaan memiliki makna yang berbeda dengan gotong royong. Bung Karno, si Bung besar itu kembali mengingatkan saat berpidato di dalam siding BPUPKI, 1 Juni 1945.
“Gotong royong adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan saudara-saudara! Kekeluargaan adalah salah satu faham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan. Gotong royong adalah membanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan Bantu binantu bersama. Amal semua untuk buat kepentingan semua, keringat semua untuk kebahagiaan semua. Holopis kuntul baris buat kepentingan bersama, itulah gotong royong,” kata Bung Karno.
Bung Karno mengartikan gotong royong adalah kegiatan dinamis, sementara kekeluargaan bagi Soepomo dan tokoh-tokoh kemerdekaan lain adalah semangat ataunilai, yang menjadi dasar hubungan sosial antara sesama bangsa Indonesia. Masyarakat Indonesia dianalogikan sebagai sebuah keluarga. Seperti keluarga batih di Jawa atau keluarga rumah gadang di Minangkabau, atau keluarga betang di Dayak. Maka hubungan sosial yang terjadi sebagaimana hubungan dalam keluarga, antara ayah dan anak, mamak dan keponakan, adik dan kakak, atau cucu dan kakek.
Lalu ke mana gotong royong, kekeluargaan, dan tolong menolong kini? Di tengah politik kian menjadikan politisi menjadi individu, lebih mementingkan golongan daripada bangsa, maka pudarlah gotong royong dan kekeluargaan. Untuk itulah pengajaran Pancasila sebagai dasar negara di dunia pendidikan harus direvitalisasi. Pola indoktrinasi dan penafsiran tunggal oleh negara semasa Orde Baru, telah mengerdilkan Pancasila dan membuatnya ditinggalkan sebagai ideologi berbangsa dan bernegara.
Azyumardi Azra intelektual Islam mengatakan, Pancasila yang dulu menjadi mata kuliah wajib sekarang memang tidak diajarkan lagi di perguruan tinggi. Ini berbahaya karena siswa dan mahasiswa tidak lagi mengenal dasar berbangsa dan bernegara. Mahasiswa bisa tergoda pada ideologi lain, seperti liberalisme, kapitalisme, militerisme, komunisme, kekhalifahan, dan ideologi lain, tanpa mengenal Pancasila. “Padahal, nilai-nilai Pancasila yang digali dari masyarakat, seperti kerukunan, musyawarah, gotong royong, rela berkorban, dan nilai-nilai luhur lain, terbukti efektif menyatukan bangsa ini,” kata Azyumardi.
Para tokoh itu meyakini. Dengan pengajaran Pancasila, maka karakter bangsa berupa gotong royong, kekeluargaan, tolong menolong tak akan pergi.
Menghidupkan Gotong Royong
Pemujaan yang berlebihan terhadap kekayaan dan gaya hidup meniru barat, membuat gotong royong tergerus. Budaya ini seperti terpojok sendiri di pinggiran, lantas bagaimana membangkitkan semangat gotong royong?
Barat mengagumi gotong royong. Itulah mengapa Indonesianis sekelas Clifford Geertz terpesona dengan gotong royong. Geertz yang banyak meneliti Islam di Indonesia dengan konsep santri dan abangannya, melihat ada kaita erat antara konsep gotong royong dan Islam.
Geertz menemukan desa-desa dengan tipe abangan, masyarakatnya turut dalam pembangunan dengan kebersamaan. Misalnya, ketika desa membutuhkan jalan, masyarakat bersama-sama mencari batu, lalu bersama-sama pula menatanya untuk pembuatan jalan. Kisah ini sama halnya, ketika Rasulullah SAW mula-mula datang ke Madinah.
Beliau mengajak para sahabat dan penduduk Madinah bersama-sama membangu masjid sebagai pusat kegiatan. Demikian halnya saat Perang Khondaq atau Perang parit. Nabi bersama-sama masyarakat Madinah membangun parit pertahanan mengitari kota. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Begitulah gotong royong.
Antropolog Lono Simatupang mempunyai catatan khusus dengan tradisi gotong royong dan kebersamaan. “Tradisi ini bisa bertahan apabila terdapat komitmen, bahwa antara satu individu dengan individu lain sebagai “sedulur” atau saudara. Biasanya teman yang membantu menempelkan diri atau ditempelkan sebagai saudara, bukan tetangga,” ujar Lono.
Komitmen mereka jelas, karena hubungan persaudaraan itu sudah dibangun lama. “Karena hanya ‘saudara’ yang akan memberikan komitmen seperti itu. Saudara bukan dalam arti sempit,” sambungnya. Dalam konsep ‘tetangga’, tradisi seperti gotong royong dan gugur gunung sebenarnya sementara dan bersifat kebetulan (aksidental). Di desa-desa di pinggiran kota, malahan nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan itu menipis karena migrasi ke kota. Membuat mereka mulai mengadopsi nilai-nilai kota besar yang mengedepankan kepentingan sendiri.
“Sudah lama ikatan di desa pinggiran kota terabaikan dan ikatan- ikatan lokalitas tidak dipelihara. Yang masih tersisa hanya tradisi nyadran, membersihkan makam menjelang puasa. Ronda pun tidak banyak dilakukan. Namun di desa-desa yang lebih ke dalam, ikatan ini masih terpelihara,” ujarnya.
Posting Komentar